Gempa untuk Membangunkan Tidur
Gempa bumi berkekuatan M 6,9 di Selat Sunda pada Jumat (2/8/2019) pukul 19.03 WIB memicu peringatan dini tsunami. Sekalipun guncangannya cukup kuat sehingga merusak ratusan bangunan dan menewaskan enam orang, gempa ini bukanlah yang terkuat yang bisa terjadi di selatan Jawa.
Gempa bumi yang berpusat di Samudra Hindia sebelah selatan Banten pekan lalu seperti alarm untuk membangunkan kita agar bersiaga terhadap gempa dan tsunami besar yang sewaktu-waktu bisa melanda.
Gempa bumi berkekuatan M 6,9 di Selat Sunda pada Jumat (2/8/2019) pukul 19.03 WIB telah memicu peringatan dini tsunami. Sekalipun guncangannya cukup kuat sehingga merusak ratusan bangunan dan menewaskan enam orang, gempa ini bukanlah yang terkuat yang bisa terjadi di selatan Jawa.
Lima menit setelah guncangan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis informasi bahwa gempa berkekuatan M 7,4 dengan pusat gempa 147 kilometer arah barat daya Kecamatan Sumur, Banten, dan kedalaman 10 kilometer. Dengan parameter ini, BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami untuk pesisir Banten, Jawa Barat, Lampung, hingga Bengkulu.
Setelah data seismograf yang masuk lebih banyak dan stabil, kekuatan gempa diperbarui menjadi M 6,9 dan kedalaman sumber 48 km. Dengan parameter baru ini, gempa dinyatakan tidak berpotensi tsunami. Pantauan sensor pasang surut (tide gauge) dari Badan Informasi Geospasial kemudian memastikan bahwa tsunami memang tidak terjadi.
”Parameter gempa yang kami keluarkan untuk kepentingan peringatan dini tsunami. Sesuai tupoksi, BMKG dituntut mengeluarkan peringatan dalam lima menit,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono.
Padahal, proses runtuhnya batuan di pusat gempa pada umumnya bisa berlangsung lebih dari lima menit sehingga parameter gempa bisa berubah. Bahkan, jika gempanya sangat besar seperti terjadi di Aceh pada 2004 atau Jepang pada 2011, runtuhnya batuan bisa berlangsung lebih dari sejam.
Itulah sebabnya, saat gempa Sendai 2011, Japan Meteorological Agency (JMA) awalnya mengeluarkan informasi kekuatan gempa hanya M 7,9 dan ancaman tsunami 8 meter. Padahal, gempa kemudian dipastikan berkekuatan M 9 dan tsunami yang kemudian melanda berketinggian lebih dari 20 meter.
”JMA seperti BMKG, dituntut untuk menyampaikan informasi secepatnya untuk kepentingan peringatan dini tsunami. Beda dengan USGS (Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat) yang tidak dibebani menyampaikan peringatan dini tsunami sehingga bisa mengeluarkan parameter gempa setelah data stabil,” kata Daryono.
Akurasi
Akurasi dan kecepatan memang susah disandingkan. Fakta ini menyingkap keterbatasan sistem peringatan dini tsunami.
Kali ini, sistem peringatan dini tsunami menjadi over estimate atau berlebih, sedangkan saat tsunami Palu 2018 peringatan dini under estimate atau lebih kecil dari kejadian sesungguhnya.
Selain itu, tsunami di Palu datang hanya tiga menit setelah gempa, atau lebih cepat dari peringatan dini tsunami. Apalagi, saat itu komunikasi juga terputus sehingga peringatan tak bisa diteruskan kepada masyarakat terdampak.
Gempa harus menjadi alarm bagi masyarakat di pesisir untuk segera menjauh ke tempat tinggi tanpa harus menunggu peringatan dini tsunami.
Belajar dari kasus Palu dan sederet kejadian gempa bumi sejak Aceh 2004, evakuasi mandiri memang menjadi kunci untuk selamat dari tsunami.
Masyarakat Pulau Simeulue di dekat pusat gempa Aceh 2004 selamat karena segera mengungsi ke perbukitan setelah gempa. Jika di pesisir Aceh terdapat lebih dari 160.000 korban jiwa, di Simeulue tujuh korban.
Gempa harus menjadi alarm bagi masyarakat di pesisir untuk segera menjauh ke tempat tinggi tanpa harus menunggu peringatan dini tsunami. Fenomena ini yang terlihat saat gempa pekan lalu.
Seperti diwartakan Kompas pada Sabtu (3/8/2019) dan Minggu (4/8/2019), masyarakat di pesisir Pandeglang, Banten, langsung menjauh dari pantai beberapa saat setelah gempa.
Fenomena ini, misalnya, terjadi di Desa Kertamukti, Kecamatan Sumur, Pandeglang. Warga bergerak ke tempat evakuasi beberapa saat setelah gempa sekalipun tanpa aba-aba sirene tsunami. Mereka mengikuti jalur evakuasi yang telah dibuat setelah tsunami Krakatau pada Desember 2018.
Masyarakat di Kertamukti sepertinya belajar dari kejadian tsunami yang menewaskan 36 warga. Namun, waktu selalu menjadi musuh utama kesiapsiagaan. Ketika masih segar dalam ingatan, biasanya kita menjadi lebih waspada. Namun, seiring dengan waktu, kesiapsiagaan mengendur, bahkan dilupakan.
Ancaman Laut Selatan
Hingga sebelum tsunami tahun 2004, masyarakat Aceh pada umumnya tidak menyadari mereka tinggal di kawasan yang pernah dilanda tsunami. Padahal, Aceh telah berkali-kali dilanda tsunami. Bukti arkeologi dan geologi, tsunami tahun 1394 sekuat yang terjadi pada 2004. Setelah tsunami 1394, kawasan terdampak ditinggalkan, tetapi satu abad dihuni kembali, hingga kemudian hancur lagi saat tsunami 2004 (Jurnal PNAS, 2019).
Berada di hadapan jalur subduksi yang sama, pesisir selatan Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara juga menghadapi ancaman sebagaimana Aceh. Kajian geologi yang dilakukan Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulinato dan tim menemukan berlapis endapan tsunami di Lebak (Banten), Pangandaran, Cilacap (Jawa Tengah), Pacitan (Jawa Timur), dan Kulon Progo (DI Yogyakarta).
Salah satu endapan diketahui memiliki kesamaan umur, yaitu sekitar 300 tahun lalu, yang menunjukkan ada kejadian tsunami besar dalam waktu sama.
Keberulangan tsunami di masa lalu ini yang kemungkinan menjadi penyebab sepinya hunian penduduk di pesisir Jawa di masa lalu. Berdasarkan peta Belanda tahun 1800-an, lokasi permukiman di pantai selatan Jateng dan DIY cenderung berjarak dari pantai.
Selatan Jawa memang memiliki potensi gempa besar dari zona subduksi.
Pertumbuhan pesisir di selatan Jawa baru mulai terjadi setelah Belanda membangun pelabuhan di Cilacap pada 1840. Hingga awal 1900-an, kawasan di pesisir selatan Jawa yang berkembang hanya Cilacap.
Seperti ditulis Ahmad Wongsosewodjo dalam bukunya, Berkeliling Hindia: Tanah Djawa Keradjaan Lama (1937), ”Di pantai selatan seluruh tanah Jawa, hanya negeri Cilacap sajalah bandar pelabuan yang diperbaiki gubermen dan yang disinggahi kapal”.
Namun, kini pesisir selatan Jawa telah tumbuh pesat. Bahkan, baru-baru ini dibangun Bandara Internasional Yogyakarta di pesisir Kulon Progo, persis di lokasi Eko Yulinato menemukan salah satu endapan tsunami tua.
”Sebagai peneliti, kami tetap harus menyampaikan kepada masyarakat bahwa selatan Jawa memang memiliki potensi gempa besar dari zona subduksi,” kata ahli gempa bumi Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano. ”Gempa yang lalu bukan dari zona subduksi, tapi terjadi di intraslab (lengan lempeng).”
Menurut Irwan, gempa tegak lurus dengan subduksi ini tak pernah diperhitungkan sebelumnya. ”Beruntung bahwa lokasinya di Selat Sunda. Kalau gempa yang lalu terjadi lebih ke arah timur, dampak guncangannya pasti akan lebih kuat di Jakarta,” lanjutnya.
Gempa bumi memang belum bisa diprediksi secara pasti kapan terjadi. Namun, cepat atau lambat, selatan Jawa dipastikan akan dilanda kembali gempa besar seperti yang dulu pernah terjadi. Maka, yang terbaik adalah menyadari bahwa kawasan ini memang berisiko sehingga warga di pesisirnya harus senantiasa bersiaga. Kesiapsiagaan ini harus membudaya dan terus diwariskan....