KH Maimoen Zubair dikenal sebagai sosok yang kerap berbicara tentang kebangsaan. Jiwa nasionalisnya terbentuk sejak kecil.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
REMBANG, KOMPAS — KH Maimoen Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yang meninggal di Mekkah, Arab Saudi, Selasa (6/8/2019), dikenal sebagai sosok yang kerap berbicara tentang kebangsaan. Jiwa nasionalisnya terbentuk sejak kecil.
Putra bungsu Mbah Moen, Muhammad Idror, di Rembang, Rabu (7/8), mengatakan, Mbah Moen merupakan seorang yang nasionalis karena setiap Muslim memang semestinya nasionalis atau cinta tanah air. Selain itu, ayah Mbah Moen, KH Zubair Dahlan, telah membekalinya dengan berbagai hal, antara lain tentang perjuangan.
Ia menambahkan, Mbah Moen, yang lahir 28 Oktober 1928, merasakan masa perjuangan Indonesia pada Agresi Militer Belanda. Kiai karismatik itu juga membaca buku-buku atau majalah tentang perjuangan kala itu.
Idror menuturkan, Mbah Moen pernah bercerita tentang bagaimana ia dididik dan dibentuk. ”Saya dibentuk oleh ayah saya. Sejak kecil sudah diberi contoh dan bacaan agar memiliki jiwa nasional yang Islam dan Islam yang nasional,” kata Idror, menirukan ucapan Mbah Moen kala itu.
Di politik, Mbah Moen juga merupakan sosok sentral di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sekaligus menjadi sosok penyatu. Dia, antara lain, berperan dalam pertemuan dua kubu di PPP pada 2016. ”Beliau memikirkan bagaimana agar Indonesia menjadi negara yang aman dan sesuai dengan ajaran,” kata Idror.
Saya dibentuk oleh ayah saya. Sejak kecil sudah diberi contoh dan bacaan agar memiliki jiwa nasional yang Islam dan Islam yang nasional.
M Ainul Yaqin (25), santri Ponpes Al-Anwar asal Wonorejo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mengatakan, Mbah Moen selalu menekankan agar para santri harus nasionalis. Pesan yang disampaikan, yakni tinggal di Indonesia, santri harus menjadi sosok yang nasionalis religius.
”Biasanya, kalau ada tamu, pesan yang disampaikan berbeda-beda. Namun, beberapa bulan terakhir pesannya sama, agar para santri harus mempersatukan. Jangan sampai terpecah belah. Selain itu, kami diajarkan untuk menghormati, tak pandang bulu dengan siapa pun,” ucap Ainul.
Sebelumnya, ucapan duka terus mengalir, termasuk dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Menurut dia, Mbah Moen selalu bersemangat saat bercerita tentang kebangsaan dan Sumpah Pemuda. Hal itu karena kelahirannya berbarengan dengan peristiwa bersejarah tersebut, yakni 28 Oktober 1928.
”Itu nilai dari Mbah Moen yang luar biasa. Sejarah, kebangsaan, dan patriotisme terus didengungkan. Beliau merupakan kiai nasionalis yang menjadi rujukan banyak orang,” ucap Ganjar. Adapun Wakil Ganjar di pemprov saat ini, Taj Yasin, merupakan salah seorang putra Mbah Moen.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa beliau merupakan tokoh yang berkiprah dalam perjuangan politik keumatan untuk kebangsaan. ”Sosok yang gigih sampai usia lanjut, tidak kenal lelah berkontribusi dalam pergumulan politik nasional,” kata Haedar (Kompas, 7/8/2019).
Mbah Moen dimakamkan di Ma’la, Mekkah, atau sekitar 5 kilometer dari Masjidil Haram, Selasa siang. Kendati demikian, warga, alumni santri, hingga pengagum Mbah Moen berdatangan ke kediaman Mbah Moen di Sarang. Mereka ikut mendoakan serta mengikuti tahlil dan shalat Ghaib.