Pemerintah memastikan subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah masih tersedia. Anggaran subsidi diupayakan cukup sampai akhir tahun. Namun, pengembang diminta konsisten memenuhi spesifikasi teknis rumah subsidi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah masih tersedia. Selain subsidi berskema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP, masih tersedia pula subsidi selisih bunga atau SSB dan skema bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan atau BP2BT.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Eko D Heripoerwanto dalam diskusi dengan media di Jakarta, Rabu (7/8/2019). Eko mengatakan, Menteri PUPR memang telah mengirimkan surat usulan penambahan anggaran subsidi kepada Menteri Keuangan.
Akan tetapi, sampai saat ini ketiga skema subsidi perumahan yang dijalankan pemerintah itu masih tersedia. Pada skema FLPP, anggaran telah disalurkan untuk 70 persen dari 68.000 unit rumah subsidi. Untuk skema SSB, realisasi masih 0 persen meski permintaan penagihan sekitar 60.000 unit. Sementara skema BP2BT tersedia anggaran untuk 14.000 unit rumah.
”Tolong yang dituntut bukan hanya penambahan anggaran pemerintah, tetapi juga tanggung jawab pengembang agar membangun rumah subsidi sesuai spesifikasi teknis. Kami sering menerima kritik seperti dari Ombudsman RI, Badan Perlindungan Konsumen, dan YLKI soal kualitas rumah subsidi. Hal ini tantangan kita,” kata Eko.
Menurut Eko, proses penganggaran subsidi perumahan dipertimbangkan dengan cermat. Sejak 2015 sampai dengan 2018, kinerja atau realisasi penyaluran kredit perumahan rakyat (KPR) subsidi antara 70 persen dan 75 persen. Realisasi itu dinilai tidak terlalu tinggi.
Di sisi lain, pada akhir 2018, pemerintah telah mendapat masukan dari kalangan pengembang bahwa untuk 2019 pengembang masih akan menunggu dan melihat perkembangan (wait and see) dari pemilihan presiden. Dengan kata lain, pembangunan baru akan berjalan normal setelah pilpres atau pada pertengahan tahun.
Pemerintah menyadari kemungkinan anggaran subsidi habis sebelum akhir tahun. Oleh karena itu, Kementerian PUPR mengusulkan penambahan anggaran subsidi perumahan ke Kementerian Keuangan. Selain skema FLPP dan SSB yang selama ini sudah berjalan, terdapat skema BP2BT yang jumlah pemohonnya sampai saat ini baru 9 persen atau 1.844 unit dari ketersediaan sampai 18.869 unit.
Masalahnya, masyarakat belum paham mengenai skema BP2BT itu dan lebih memahami skema FLPP dengan fasilitas bunga tetap 5 persen dengan tenor 20 tahun. Sementara melalui skema BP2BT, pemerintah memberikan bantuan dana antara Rp 32 juta dan Rp 40 juta. Namun, skema ini mensyaratkan debitor terlebih dahulu menabung dan angsuran dikenakan bunga komersial.
Saat ini, bank pelaksana skema BP2BT adalah BTN, BRI, Artha Graha, Bank Jateng, dan Bank Jatim. ”Memang sasaran BP2BT dengan FLPP tidak sama. BP2BT itu untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja di sektor informal,” ujar Eko.
Pemerintah berupaya agar anggaran subsidi perumahan bisa mencukupi sampai akhir tahun. Pengembang diminta konsisten memenuhi spesifikasi teknis rumah subsidi.
Sementara pemerintah berupaya agar anggaran subsidi perumahan bisa mencukupi sampai akhir tahun. Eko meminta pengembang juga konsisten memenuhi spesifikasi teknis rumah subsidi. Salah satu contohnya adalah penggunaan besi sesuai ketentuan meski dari 12 milimeter kini diberi kelonggaran menjadi 10 mm karena protes dari kalangan pengembang.
Persoalan kualitas ini menjadi perhatian pemerintah karena banyaknya pengaduan ataupun temuan mengenai kualitas rumah yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Masalahnya, kewenangan penerbitan izin perumahan beserta pengawasannya ada di pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat mendorong pemda memasukkan soal sertifikat laik fungsi di peraturan daerah ataupun melalui peraturan gubernur.
Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan, penyediaan perumahan di Indonesia memerlukan inovasi. Sebab, kebutuhan per tahun sangat besar, yakni mencapai 700.000 unit per tahun. ”Maka, ke depan perlu penguatan dan inovasi untuk memenuhi permintaan rumah, selain dengan melanjutkan program sejuta rumah,” katanya.
Salah satu skema yang berpotensi dikembangkan ke depan adalah penyediaan hunian berbasis komunitas. Dengan beragam dan besarnya komunitas di Indonesia, skema ini masih berpotensi terus ditingkatkan, seperti komunitas tukang cukur dan pedagang bakso. Dengan skema ini, pemerintah bisa membantu memberikan subsidi atau melalui perbankan.
Secara terpisah, Direktur Konsumer Banking BTN Budi Satria mengatakan, pihaknya telah menyiapkan rencana jika ke depan usulan penambahan anggaran tidak dikabulkan. ”Kami juga menyiapkan skema khusus dengan persyaratan dan lain-lain persis sama dengan skema subsidi, tetapi dengan bunga komersial,” kata Budi.
Menurut Budi, program BP2BT saat ini sedang dalam proses persiapan dan penyaluran karena program ini merupakan skema baru dan dengan suku bunga komersial. Karena berbeda dengan FLPP, lebih banyak calon debitor memilih skema subsidi.