Penerbitan Obligasi Daerah Terhambat Kesiapan Pemerintah
Penerbitan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan masih terhambat kesiapan pemerintah. Kredibilitas tata kelola keuangan daerah dan dukungan politik jadi pertimbangan utama.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan masih terhambat kesiapan pemerintah. Kredibilitas tata kelola keuangan daerah dan dukungan politik jadi pertimbangan utama.
Obligasi atau surat utang daerah merupakan instrumen efek yang bisa diterbitkan pemerintah daerah. Penerbitannya hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uang rupiah.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan, penerbitan obligasi daerah masih terhambat kesiapan pemerintah. Namun, sejauh ini progresnya sesuai rencana kendati target penerbitan belum bisa ditetapkan.
”Terkait obligasi daerah, Kemenkeu bertindak sebagai pendukung manajemen, sementara pembinaan lewat Kementerian Dalam Negeri,” kata Luky di Jakarta, Kamis (8/8/2019).
Menurut Luky, sejauh ini ada tiga daerah yang berminat menerbitkan obligasi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Namun, daerah yang paling siap baru Jawa Tengah. Mereka sudah menyusun kebutuhan anggaran dan proyek prioritas yang akan dibiayai melalui obligasi.
Payung hukum kebijakan obligasi daerah adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Teknis pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 147 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
Menurut PMK Nomor 41 Tahun 2006, penerbitan obligasi daerah tidak mendapat jaminan dari pemerintah pusat. Namun, untuk mengantisipasi kemungkinan gagal bayar, pemerintah daerah wajib menyediakan dana pelunasan utang yang dipotong dari hasil pembelian obligasi daerah.
Ada tiga daerah yang berminat menerbitkan obligasi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Namun, daerah yang paling siap baru Jawa Tengah. Mereka sudah menyusun kebutuhan anggaran dan proyek prioritas yang akan dibiayai melalui obligasi.
Selain itu, surat utang daerah itu hanya bisa digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan sarana pelayanan publik yang dapat menghasilkan penerimaan daerah. Kegiatannya harus sesuai dengan dokumen perencanaan daerah.
Sebelumnya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, peraturan daerah terkait dengan penerbitan obligasi daerah disiapkan. Obligasi daerah dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan di kota/kabupaten. Total nilai proyek yang akan dibiayai obligasi daerah sekitar Rp 2 triliun (Kompas, 14/3/2019).
Proyek senilai Rp 2 triliun seluruhnya untuk pembangunan layanan publik, seperti rumah sakit, terminal, dan pusat olahraga. Meski demikian, pemerintah Jateng belum memastikan jadwal penerbitan obligasi.
Tata kelola
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng berpendapat, wacana penerbitan obligasi daerah bergulir sejak tahun 2000. Namun, kebijakan itu belum terealisasi karena ketidaksiapan pemerintah. Obligasi daerah dibutuhkan untuk percepatan pembangunan infrastruktur.
”Pola pikir pemerintah daerah harus berubah. Tidak hanya mengandalkan transfer dana dari pusat, tetapi juga mencari alternatif pembiayaan,” kata Robert.
Meski demikian, penerbitan obligasi daerah tidak bisa sembarangan. Tata kelola keuangan pemerintah daerah harus sehat untuk menjaga kepercayaan investor. Di sisi lain, dukungan politik mesti kuat agar pembiayaan dari obligasi digunakan untuk program berkelanjutan.
Menurut Robert, pemerintah pusat dan otoritas terkait juga harus mengawasi agar penerimaan dari obligasi tidak digunakan untuk belanja konsumtif, seperti belanja pegawai atau belanja barang. Dana dari penerbitan obligasi mesti digunakan untuk kegiatan produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
”Kendati tidak ada jaminan, pemerintah pusat disarankan membuat analisis potensi daerah dan risiko identifikasi untuk memitigasi risiko,” kata Robert.