Pembahasan RUU Pemasyarakatan berpotensi melemahkan proses pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan karena muncul indikasi RUU ini akan disusupi pasal-pasal yang memungkinkan seorang narapidana korupsi bisa mendapat remisi tanpa harus menjadi justice collaborator.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan RUU Pemasyarakatan berpotensi melemahkan proses pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan muncul indikasi RUU ini akan disusupi pasal-pasal yang memungkinkan seorang narapidana korupsi bisa mendapat remisi tanpa harus menjadi justice collaborator.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, DPR menargetkan RUU Pemasyarakatan bisa disahkan menjelang akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019. Menurut Arsul, RUU Pemasyarakatan akan mengatur sistem peradilan pidana terpadu.
”Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga penyidik seperti KPK tidak bisa ikut campur dalam menentukan nasib narapidana yang telah menjadi warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan,” ucap Arsul, Kamis (8/8/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Arsul, KPK kerap mempersulit rekomendasi pemberian remisi bagi para narapidana korupsi. DPR juga akan mengaji syarat-syarat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa narapidana korupsi baru bisa mendapat remisi jika napi tersebut telah menjadi justice collaborator.
”KPK kerap mempersulit rekomendasi pemberian remisi ini. Padahal, dari lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan, bisa lebih mudah memberikan rekomendasi. Tentunya hal ini memunculkan ketidakadilan bagi narapidana korupsi,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil, mengatakan, setelah RUU Pemasyarakatan ini disahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 sudah seharusnya dibatalkan. Menurut Nasir, jika seseorang telah masuk sebagai narapidana, tidak boleh ada lembaga lain yang mencampuri urusan dalam lembaga pemasyarakatan.
”Konsekuensinya seperti itu, ketika UU ini disahkan, segala peraturan perundang-undangan, seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan peraturan presiden yang tidak sejalan dengan UU ini harus dibatalkan demi hukum,” kata Nasir, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.
Menurut Nasir, seharusnya proses justice collabolator bisa dilaksanakan ketika KPK melakukan proses penyidikan dan penyelidikan. Menurut Nasir, para narapidana korupsi menjadi tidak mendapat kepastian hukum jika peraturan pemerintah ini tetap diaksanakan
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, ada indikasi RUU Pemasyarakatan akan disusupi pasal-pasal yang melemahkan pemberantasan korupsi. Menurut Feri, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 baru bisa dibatalkan jika ada pasal yang bertentangan dalam RUU Pemasyarakatan.
”Oleh karena itu, dalam pembahasan nanti, bisa saja DPR akan memasukkan sejumlah pasal yang memungkinkan narapidana korupsi bisa mendapat remisi tanpa harus menjadi justice collaborator,” katanya.
Feri menduga, DPR berusaha untuk melindungi para koruptor dengan membentuk undang-undang baru. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa pembahasan RUU ini perlu dikawal oleh seluruh elemen masyarakat.
Senada dengan Feri, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan bahwa undang-undang yang disahkan menjelang akhir masa jabatan DPR memang rentan disusupi pasal-pasal yang bisa melemahkan KPK. Selain itu, ia mengatakan, biasanya para narapidana korupsi baru ingin menjadi justice collaborator setelah masuk lembaga pemasyarakatan.
"Mereka baru ingin menjadi justice collaborator setelah merasakan hukuman di dalam penjara. Jarang ada narapidana yang ingin menjadi justice collaborator ketika proses penyidikan," katanya.
Donal menjelaskan, pada tahun 2013 dan 2017, sejumlah pihak telah berupaya untuk mengevaluasi Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 melalui uji materi di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun, uji materi tersebut ditolak oleh MA dan MK.
"Oleh sebab itu, cara yang paling memungkinkan untuk membatalkan peraturan pemerintah ini adalah dengan membentuk undang-undang baru," ucapnya.