Wapres: Indonesia Terlambat Antisipasi Dinamika Global
Indonesia dinilai terlambat mengantisipasi dinamika perekonomian global sehingga momentum pertumbuhan ekonomi terganggu. Keterlambatan itu utamanya dalam menjalin kerja sama bilateral ataupun multilateral.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai terlambat mengantisipasi dinamika perekonomian global sehingga momentum pertumbuhan ekonomi terganggu. Keterlambatan itu utamanya dalam menjalin kerja sama bilateral ataupun multilateral.
”Sekali lagi kita terlambat untuk antisipasi. Apabila barang asal China mahal di Amerika Serikat karena kenaikan bea masuk, tentunya ada solusi lain dari negara seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam, tetapi kita terlambat,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan Hari Jadi Ke-24 Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Rabu (7/8/2019) malam.
Menurut Wapres Kalla, Indonesia terlambat menjalin kerja sama bilateral dan multilateral untuk mengantisipasi dinamika perekonomian global. Misalnya, perjanjian perdagangan barang-barang tertentu (generalized system of preference/GSP) dengan AS masih tahap negosiasi, sementara Vietnam sudah menerapkan fasilitas itu.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya mempercepat ratifikasi sejumlah perjanjian dagang bilateral dan multilateral dengan negara-negara yang memiliki pasar besar, seperti Australia, Uni Eropa, dan Korea Selatan. Perjanjian internasional itu menjadi salah satu cara memperbaiki kinerja investasi dan ekspor yang kini lesu.
”Pemikiran ekonomi itu juga mesti digabungkan dengan kemajuan teknologi dan inovasi,” kata Wapres.
Wapres Kalla mengatakan, seluruh aktivitas ekonomi masa depan bergantung pada kemampuan negara meningkatkan pendapatan lewat ekspor. Tanpa kenaikan pendapatan, konsumsi rumah tangga sulit jadi penopang perekonomian. Upaya mendorong konsumsi rumah tangga juga mesti dibarengi penciptaan lapangan kerja melalui investasi.
Seluruh aktivitas ekonomi masa depan tergantung pada kemampuan negara meningkatkan pendapatan lewat ekspor. Tanpa kenaikan pendapatan, konsumsi rumah tangga sulit jadi penopang perekonomian.
Di sisi lain, lanjut Wapres Kalla, keinginan menarik investasi langsung kerap kali memunculkan dilema. Indonesia butuh banyak investasi langsung, tetapi harus berhati-hati agar tidak membunuh industri dalam negeri. Kasus menarik saat ini adalah masuknya industri semen asal China yang bisa memproduksi semen dengan harga pokok Rp 30.000 per zak.
”Sementara industri semen di Indonesia modalnya Rp 40.000 per zak sehingga terjadi penurunan harga akibat pasokan berlebih. Dilema-dilema seperti ini yang harus diatasi,” kata Wapres.
Secara terpisah, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan, kinerja ekspor dan investasi pada triwulan III dan IV-2019 masih lesu. Penopang perekonomian masih dari konsumsi rumah tangga sehingga mesti dijaga tetap tumbuh lebih dari 5 persen atau setidaknya 5,1 persen.
”Jika konsumsi tumbuh rendah, implikasinya sulit mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen,” kata Eko.
Menurut Eko, pemerintah semestinya cermat memanfaatkan momentum pada triwulan III dan IV-2019, seperti perayaan Natal, libur akhir tahun, dan perhelatan belanja daring nasional (Harbolnas). Penyelenggaraan festival kuliner dan produk berbasis kearifan lokal bisa ditambah untuk mendorong konsumsi rumah tangga.
Indef memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,08-5,1 persen. Sementara itu, pemerintah menargetkan 5,2 persen. Adapun Bank Indonesia memproyeksikan 5,0-5,2 persen.
Eko mengatakan, upaya menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga bergantung pada inflasi. Kenaikan harga barang mudah bergejolak, seperti pangan, mesti diwaspadai. Hal itu karena prakiraan musim kemarau akan lebih panjang pada tahun ini. Pemerintah menargetkan inflasi tahun ini sekitar 3,5 persen atau lebih rendah dari 2018.