Liga Inggris musim 2019-2020 yang dimulai Sabtu (10/8/2019) dini hari ini menandai tepat tiga dekade Liverpool berpuasa trofi liga tersengit sejagat itu. Setelah nyaris merebut trofi itu dari Manchester City musim lalu, ”The Reds” hadir dengan semangat baru. Pertanyaannya, bisakah mereka mengakhiri kutukan 30 tahun itu?
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
LIVERPOOL, KAMIS — Liga Inggris musim 2019-2020 yang dimulai Sabtu (10/8/2019) dini hari ini menandai tepat tiga dekade Liverpool berpuasa trofi liga tersengit sejagat itu. Setelah nyaris merebut trofi itu dari Manchester City musim lalu, ”The Reds” hadir dengan semangat baru. Pertanyaannya, bisakah mereka mengakhiri kutukan 30 tahun itu?
Pada 2008 silam, David Gill, mantan CEO Manchester United, berkata, Liga Inggris adalah yang terbaik dan tersengit sejagat. Situasi itu memaksa tim teratas untuk terus melecut diri. ”Jika ingin terus berada di puncak, kami harus senantiasa melihat kondisi skuad dan berupaya meningkatkannya,” ujarnya saat itu.
Saat itu, MU baru saja mempertahankan trofi juara Liga Inggris. Di saat yang hampir bersamaan, mereka membajak striker Tottenham Hotspur, Dimitar Berbatov. Padahal, ketika itu, mereka telah memiliki sejumlah penyerang berkelas dunia, seperti Wayne Rooney dan Carlos Tevez. Investasi konstan itu membuahkan hasil. MU kembali menjuarai Liga Inggris setahun kemudian.
Setelah itu, tidak ada satu tim pun yang mampu mendominasi Liga Inggris untuk tiga musim beruntun. Hegemoni itu berpeluang diciptakan Manchester City, juara bertahan Liga Inggris dua musim terakhir. City, yang bakal menjalani debutnya di Liga Inggris musim baru dengan menghadapi West Ham United Sabtu sore, persis merunut jejak MU satu dekade lalu.
”The Citizens” tidak henti-hentinya menambah amunisi tim. Mereka menghabiskan 155 juta euro atau setara Rp 2,4 triliun untuk pemain baru, salah satunya gelandang bertahan dari Atletico Madrid, Rodri.
Situasi ini berkebalikan dengan ”The Reds” yang sunyi senyap di jendela transfer musim panas ini. Mereka mengandalkan skuad yang ada saat ini sehingga hanya membelanjakan Rp 30 miliar untuk pemain-pemain masa depan, seperti bek Sepp van den Berg dari klub Belanda, PEC Zwolle.
Memilih berhemat dan pasif di jendela transfer bukan sebuah dosa dalam sepak bola. Namun, seperti dikatakan Gill, tiada prestasi tanpa investasi. Leicester City, misalnya, nekat menghabiskan Rp 795 miliar untuk menghadirkan sejumlah pemain, seperti N’Golo Kante, Robert Huth, Gokhan Inler, dan Shinji Okazaki, pada musim 2015-2016. Belum pernah sebelumnya mereka menghabiskan uang sebanyak itu.
Namun, hasilnya sebanding. Leicester menjadi juara kejutan Liga Inggris pada akhir musim itu. Liverpool, yang sempat dijuluki ”klub toserba” karena acap kali menjual pemain-pemain bintang mereka, seperti Luis Suarez, Philippe Countinho, dan Javier Mascherano, di masa lalu, sempat merunut langkah Leicester. Sebanyak Rp 3,6 triliun dihabiskan membeli bintang-bintang baru, seperti Mohamed Salah, Virgil van Dijk, Alisson Becker, dan Fabinho, sepanjang dua musim terakhir.
Investasi besar itu membuat Liverpool meraih trofi Liga Champions Eropa sekaligus runner-up Liga Inggris musim lalu. Menurut Manajer Liverpool Juergen Klopp, skuad ”The Reds” saat ini masih cukup baik untuk kembali bersaing dengan City dalam perburuan trofi Liga Inggris. Karena itu, ia memilih tidak mengeluh ketika Fenway Sports Group, perusahaan dari Liverpool, membatasi budget belanja pemain pada musim ini.
”Kamu tidak seharusnya belanja pemain karena tim-tim (rival) lainnya juga melakukannya. Itu (persaingan juara) bukan tentang belanja. Coba Anda lihat sendiri, apa kami (Liverpool) masih butuh pemain baru?” tutur Klopp membela kebijakan klubnya.
Kesalahan besar
Alan Shearer, legenda sepak bola Inggris, berpendapat sebaliknya. Ia meyakini City akan kembali menjadi juara Liga Inggris di musim baru karena terus memperkuat diri jika dibandingkan Liverpool.
”Adalah kesalahan besar ketika Blackburn memilih berhemat dan tidak membeli pemain baru seusai menjadi juara (pada 1995). Saya berharap Liverpool tidak mengikutinya dan menyesal di kemudian hari,” ujarnya, dikutip dari Metro.co.uk.
Sejarah pun kian tidak memihak Liverpool dalam perburuan trofi. Menurut BBC, ”The Reds” selalu terpuruk seusai finis kedua di Liga Inggris musim sebelumnya. Hal itu misalnya terjadi pada satu dekade lalu. Mereka finis ketujuh setelah hampir mematahkan hegemoni MU di puncak Liga Inggris musim 2008-2009. Setali tiga uang, mereka juga hanya finis keenam setelah hampir menjadi juara di era manajer Brendan Rodgers pada musim 2013-2014.
Norwich City, tim promosi sekaligus juara Divisi Championship musim lalu, menjadi ujian awal Liverpool mematahkan tren buruk itu. Semangat besar Norwich pada laga Sabtu pukul 02.00 WIB ini bisa menjadi sandungan Liverpool yang tidak terkalahkan di 40 laga terakhir di Stadion Anfield.
”Kami harus mengumpulkan poin sebanyak mungkin, khususnya di awal. Tim kami lebih kompak,” ujar Giorginio Wijnaldum, mencoba tetap optimistis.(AFP/Reuters)