Peraup Untung di Balik Kebakaran Lahan
Kebakaran hutan dan lahan hampir selalu menimbulkan kerugian. Tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan mengganggu kesehatan, tetapi juga memerlukan biaya besar dalam upaya memadamkannya. Namun, di balik peristiwa kebakaran itu, ada saja pihak yang meraup keuntungan.
Tak jauh dari para petugas yang lalu-lalang memadamkan api, Situmorang (50) berdiri memandangi kebunnya. Hamparan itu hangus. Ratusan pohon sawit dan karet miliknya mati tak bersisa.
Namun, tak seperti orang yang dirundung duka tatkala rumahnya hangus dilalap api, Situmorang tenang-tenang saja. Sejak lama, ia memang bermaksud mengganti tanaman karet itu dengan sawit. Di atas hamparan gambut, karet sulit tumbuh normal.
Atas arahan petani lainnya, ia pun menanami bibit sawit di sela-sela pohon karet. Jumlahnya 200 batang. Namun, kedua jenis tanaman itu malah seperti berebut makanan. Tak satu pun dapat tumbuh dengan baik.
Oleh karena itu, muncul niat untuk membersihkan 4 hektar kebunnya di Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi. Jika lahan sudah bersih, akan ia tanami dengan bibit baru.
Yang menjadi masalah, ia tidak mempunyai cukup modal. Untuk menggusur ratusan pohon karet yang tumbuh, ia perlu menyewa alat berat. Biayanya Rp 5 juta per jam. ”Dari mana uangnya bisa saya dapatkan?” katanya, Senin (5/8/2019).
Sewaktu mendengar ada lahan terbakar di dekat kebunnya, Situmorang harap-harap cemas. Ia justru berharap api dapat merembet masuk ke kebunnya. ”Kalau sudah bersih seperti ini, jadi lebih mudah. Sebentar lagi tinggal saya tanam (sawit) yang baru,” ujarnya.
Situmorang berkilah mempunyai andil membakar lahan. Namun, dia mengakui mendapat untung dan kemudahan dari kejadian itu. Sebab, dirinya tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membersihkan lahan.
Penyidik dari Satuan Tugas Pencegahan Kebakaran Lahan Provinsi Jambi mendatangi lokasi kebakaran itu, pekan lalu. Sebuah pondok penggarap lahan yang berjarak 300 meter dari kebun Situmorang dipasangi garis polisi. Diduga dari kebun itulah api bermula hingga meluas lebih dari 50 hektar.
Komandan Satgas Pencegahan Karhutla Provinsi Jambi Kolonel Arh Elphis Rudy mengatakan, kebakaran dengan cepat menyebar karena lapisan gambut sedalam 3 meter itu sangat kering. Petugas pemadam kebakaran pun kewalahan.
Sudah hampir sepekan ini 100-an petugas dikerahkan dari sejumlah jajaran, mulai dari TNI, polisi, Manggala Agni, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, hingga warga sekitar. Pemadaman dari darat itu belum mampu mengatasinya.
Selain di Muaro Jambi, ratusan titik api juga muncul di kawasan hutan retorasi ekosistem di Kabupaten Tebo. Ironisnya, pembakaran lahan di wilayah ini nyaris luput dari pengawasan aparat.
Kompas mendapati pondok- pondok penggarap lahan liar berdiri di sekitar lokasi pembakaran lahan. Sudah lebih dari 100 hektar lahan yang habis terbakar.
Tim Pemadam Kebakaran PT Alam Bukit Tigapuluh yang bermaksud meninjau lokasi pada pekan lalu terpaksa balik arah karena dihadang massa. Keesokan harinya, tim mencoba masuk dari jalur lain. Setelah tiba di lokasi kebakaran, tim pun tidak bisa berbuat banyak, semata hanya mencatat koordinat titik-titik api.
Direktur PT ABT Dody Rukman menyebut pembakaran itu dilakukan oleh para perambah liar. Mereka meraup untung dari perambahan, termasuk di antaranya memperjualbelikan lahan.
Sejak 2015, pihaknya mendapati salah satu lokasi perambahan liar di perbatasan Jambi dan Riau diorganisasi oleh salah satu korporasi. Pembukaan lahannya juga dengan cara membakar. Terkait praktik ilegal itu telah dilaporkan kepada aparat penegak hukum dan kasusnya telah disidik.
Tiba-tiba, penyidikan kasusnya dihentikan dengan alasan error in persona. Hingga hari ini, perambahan yang telah meluas 1.500 hektar itu masih menjadi penyumbang utama titik api di sana. Namun, pihaknya kesulitan untuk mengatasinya.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Bambang Hero Saharjo melihat fenomena kebakaran lahan pada tahun ini seperti mengulang peristiwa pada 2015. Karena kondisi lapisan gambutnya telah rusak, ancaman kebakaran pada kemarau kali ini bisa lebih parah. ”Sebagian titik api di sejumlah daerah ternyata berulang pada lokasi yang sama dari kebakaran empat tahun lalu,” katanya.
Ia pun melihat modus yang sama di balik meluasnya kebakaran lahan. Pertama, lahan sengaja dibakar untuk menghemat biaya pembukaan lahan. Kedua, lahan dibakar untuk mendapatkan klaim asuransi. Modus pertama jamak dilakukan penggarap lahan perorangan, sementara modus kedua oleh kalangan korporasi. Namun, dari kedua modus ini, pelaku sama-sama untung.
Menurut Bambang, sejauh ini, sudah ada program pemerintah untuk merestorasi gambut dengan alokasi dana triliunan rupiah. Namun, kenyataannya, kebakaran juga kembali berulang di lokasi gambut yang direstorasi.
Oleh karena itu, restorasi gambut membutuhkan evaluasi kritis serta pembenahan maksimal. Begitu pula antisipasi dini karhutla di lapangan. Jangan sampai tim baru bergerak saat api telanjur meluas. Jika sudah begini, uang dan tenaga terkuras sia-sia.