JAKARTA, KOMPAS – Tahun depan kemungkinan akan menjadi musim terakhir untuk petenis David Agung Susanto. Setelah PON 2020, David berniat meninjau ulang karier tenis profesionalnya. PP Pelti pun diharapkan segera mempercepat regenerasi petenis untuk menggantikan posisi David.
Wakil Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti) Deddy Prasetyo tidak kaget dengan rencana pensiun David. “Cepat atau lambat dia memang akan mundur karena memikirkan masa depan. Atlet-atlet ini sudah mengorbankan banyak hal, tetapi hidup di tenis memang tidak ada uangnya. Kalau menang PON dan SEA Games baru pemain bisa mendapatkan bonus,” kata Deddy di Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Deddy menjelaskan, situasi itulah yang membuat PP Pelti saat ini berusaha untuk menyiapkan atlet-atlet yunior untuk menggantikan posisi pemain seniornya. Atlet disiapkan untuk mengikuti turnamen yang berjenjang dan berkualitas. Namun, untuk memetik atlet terbaik yang sanggup bersaing di tingkat dunia tidak sebentar. Setidaknya dibutuhkan waktu pembinaan 8-12 tahun.
Menurut Deddy, seharusnya sejak dini petenis Indonesia diarahkan untuk mengikuti turnamen yang berjejang dan berkualitas. Pada usia di bawah 14 tahun, petenis harus mengikuti 40-50 laga, atau sekitar 12-13 turnamen per tahun. Memasuki usia 14-16 tahun, jumlah laga menjadi 50-60 atau sekitar 17-20 turnamen per tahun. Melewati usia 16 tahun, meningkat menjadi 80-100 per tahun.
“Perlu diperhatikan juga rekor menang-kalahnya. Kalau usia di bawah 14 tahun, petenis harus punya rekor menang-kalah 2-1. Percuma ikut banyak turnamen tetapi kalah terus, itu yang bikin atlet-atlet merasa tertekan dan tidak punya rasa percaya diri,” kata Deddy.
Kondisi mental yang kurang siap menjalani turnamen itulah, yang menurut Deddy, menjadi tantangan petenis-petenis Indonesia saat ini. Sehingga akibatnya, selain Christopher Rungkat dan petenis yunior Priska Madelyn Nugroho, belum ada lagi petenis yang bisa bersaing di Grand Slam.
David mengatakan, faktor usia menjadi salah satu pertimbangannya untuk gantung raket. “Saya juga bukan orang Jakarta, sehingga setiap kali pelatnas saya harus memikirkan keluarga. Ini yang jadi pertimbangan saya menata masa depan,” kata David yang berusia 28 tahun itu.
David menjelaskan, dia mempunyai target untuk melakukan yang terbaik di PON 2020. “Setelah itu, saya akan lihat kondisi terakhir. Kalau penampilan masih bagus, saya akan lanjut bermain. Tetapi, mungkin juga tidak akan dalam waktu yang lama,” tuturnya.
David mengawali karir tenisnya ketika berhasil menjadi juara ITF Junior Circuit Week di Kolombo pada 2006. Selanjutnya, di hadapan publik Indonesia, David menjadi juara ITF Junior Solo 2007, baik di nomor tunggal maupun ganda campuran, berpasangan dengan Grace Sari.
Di tingkat senior, prestasi David tidak secemerlang Christo, yang kini menempati peringkat ganda ke-72 dunia. David saat ini duduk di peringkat ganda dunia ke-935. Padahal, secara usia kedua pemain sepantaran. Christo berusia 29 tahun, sementara David terpaut satu tahun di bawah Christo.
Bermain berpasangan di sektor ganda putra, David/Christo menjadi juara ITF Futures 2016 dan 2014. Hampir tiga tahun merasakan paceklik gelar, tahun ini David menjadi juara ganda putra di turnamen M15 Singapura bersama partner barunya, Jonathan Gray (Inggris).
Dalam turnamen tenis internasional Combiphar Terbuka, yang berlangsung di Jakarta, 5-11 Agustus, David, yang tampil di babak utama dengan menggunakan fasilitas quota tuan rumah, harus tersingkir di babak pertama nomor tunggal. David/Gray juga harus tersisih di perempat final.
Meskipun di sektor individu prestasi David kurang menonjol, dia menjadi salah satu andalan Indonesia dalam turnamen tenis yang membawa nama negara. Pada turnamen tenis beregu Piala Davis, David sudah membela tim “Merah Putih” sejak 2010. Tahun ini, David dan 15 petenis Indonesia berusia di bawah 22 tahun, dipanggil ke pelatnas untuk persiapan SEA Games 2019.