Jaga Kualitas dan Merek
Kualitas dan merek. Dua hal itu merupakan kunci untuk berhasil melewati gelombang pasar surut di industri tekstil dan produk tekstil dan gejolak perekonomian. Dengan dua hal itu juga, PT Sri Rejeki Isman Tbk bisa menjangkau pasar lebih luas di luar negeri dan menjadi perusahaan yang dipercaya konsumen.
Kerap kali terdengar anggapan industri tekstil dan produk tekstil adalah industri yang tinggal menunggu waktu untuk tenggelam. Salah satunya, karena produk asal China menggempur pasar dengan keras sehingga pelaku industri yang kalah bersaing akan tersingkir.
Akan tetapi, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex tegas-tegas menolak anggapan itu. Perusahaan yang tercatat sebagai salah satu emiten Kompas100 ini meyakini masa depan industri tekstil dan produk tekstil masih cerah. Bahkan, industri ini bisa menjadi senjata untuk mempercepat gerak perekonomian nasional.
Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, menegaskan, salah satu kunci untuk unggul di pasar tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah menjaga kualitas dan merek.
Berikut petikan perbincangan Iwan dengan Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Bagaimana perkembangan Sritex dari pertama berdiri?
Semula, Sritex dibangun dari kios yang dibangun ayah saya, Lukminto, pada 1966 di Pasar Klewer, Solo. Pak Lukminto awalnya berdagang kain dari Bandung yang dijual di Solo. Lalu, ia berpikir, karena capek bolak-balik Bandung-Solo, akhirnya membuat sendiri kain di Solo pada 1968. Baru pada 1970 mulai masuk ke industri.
Diawali dari pencelupan kain, kemudian, mulai punya konsumen di tingkat domestik. Selanjutnya, usaha itu berekspansi ke Sukoharjo pada 1978. Selanjutnya, pelan-pelan menjadi perusahaan yang terintegrasi, termasuk pembuatan kain pada 1990.
Pada 1995 kami mulai menyuplai seragam militer. Setelah di tingkat nasional, kemudian ke NATO. Cara itu sebagai diversifikasi produk kami.
Namun, pada 1998 terjadi krisis moneter, yang disebut ada kekacauan di Indonesia. Akan tetapi, kami berhasil menjaga kepercayaan pembeli karena kami tidak pergi meninggalkan Indonesia.
Pada 2006 ada harapan baru ketika investor datang. Di tengah kondisi positif itu, kami memutuskan masuk ke bursa saham di Bursa Efek Indonesia pada 2013, kemudian tercatat dengan nama SRIL.
Kami jadi perusahaan terbuka karena ingin ingin lebih profesional dalam mengelola perusahaan. Termasuk, untuk mendapatkan dana karena kami sudah tidak bisa lagi memperoleh pinjaman dana dari perbankan akibat aturan batas pinjaman.
Saat ini, berbagai terobosan yang dilakukan perusahaan membuat aset grup Sritex sudah lebih besar 45 kali lipat dibandingkan tahun 2000-an. Adapun jumlah karyawannya mencapai 50.000 orang.
Sritex selalu meyakini industri tekstil dan produk tekstil bukan industri yang tenggelam. Mengapa?
Kami sudah sering mendengar omongan yang jelek-jelek terkait industri ini. Dulu juga sempat pada 1998-2006 disebutkan sunset industry. Saat itu ada kejatuhan perusahaan tekstil besar akibat produk sampingan mereka ke kendaraan. Akhirnya, industri tekstil kena dampaknya.
Kali ini juga begitu. "Toko sebelah" juga demikian. Sebenarnya, industri tekstil tidak ada masalah. Akan tetapi, (masalah terjadi) saat mencoba masuk bisnis lain. Inilah pentingnya mampu mengelola perusahaan dengan baik.
Mengapa ada perpindahan pabrik dari Jawa Barat ke Jawa Tengah? Untuk menekan biaya produksi?
Sebenarnya kita ngomong bisnis dulu. Kondisi umum di bisnis, ada perusahaan yang akan surut, namun ada yang tidak. Itu semua bisnis. Seperti di properti, telepon seluler, sampai peralatan elektronik. Kita lihat Jepang, yang produknya dikalahkan Korea Selatan. Produk ponsel juga dikuasai Korsel. Akan tetapi, apakah industri teknologi Jepang dianggap industri yang akan surut? Tentu saja tidak.
Bagaimana masa depan industri TPT di Indonesia?
Sekarang bisnis adalah persoalan merek dan siapa pelakunya. Saya percaya pada bisnis ini. Seperti dalam istilah kebutuhan sandang, pangan, dan papan, yang lebih dulu disebut adalah sandang. Bisa dibilang sandang adalah kebutuhan utama.
Akan tetapi, apa selanjutnya untuk Indonesia? Yang harus kita lindungi adalah bisnis tekstil di indonesia. Kenapa harus dilindungi? Ada alasannya. Semua percepatan ekonomi negara-negara itu paling cepat melalui tekstil, misalnya China. Hal itu bisa terjadi karena tenaga kerja bisa langsung masuk ke industri tekstil.
Untuk itu, kita harus bisa membuat negara kita mampu bersaing. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, kita pasti kalah kalau investor datang. Di negara lain, investor datang, butuh tanah dan pengurusan izin, langsung bisa disediakan. Di sini, terlalu banyak proses izinnya.
Kita perlu regulasi untuk melindungi dan mengakselerasi industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia. Harus kita jaga dulu, misalnya impor tekstil yang bisa kita buat di sini, dihentikan dulu agar industri lokal bisa hidup. Misalnya, 10 tahun ditutup, baru nanti dibuka lagi. Kalau tidak, akan sulit mengembangkan indusri tekstil lokal.
Peraturan itu bisa dirangkum dalam Undang-undang tentang Kedaulatan Sandang. Kami mengusulkan UU itu. Banyak aspek yang harus diatur, seperti barang impor, energi, dan sumber daya manusia.
Kalau bisa diharmonisasi, kita bisa menunjuk perusahaan utama untuk menciptakan usaha kecil menengah (UKM) baru. Seperti, Toyota, banyak suku cadang yang dibuat UKM. Harapan saya, begitu juga untuk industri tekstil.
Perusahaan ini sudah memasuki generasi kedua, bagaimana melihat dan beradaptasi dengan perkembangan di era industri 4.0?
Era 4.0 ini tentu harus diikuti karena semua industri pasti kena. Misalnya, dulu (menggunakan) kertas, sekarang (secara) elektronik. Akan tetapi, pada akhirnya, kalau berbicara produk, kita tetap berbicara mutu, itu yang terus dibaguskan.
Di indusri tekstil, saat ini memang terus ada pengembangan tentang robotik yang bisa menggantikan buruh. Rencana saya dalam penggunaan robot bisa digunakan di negara yang jauh, misalnya, dengan membuka pabrik di Jerman. Di sana, kan, biaya tenaga kerja pasti mahal, jadi pakai robot saja. Kalau bahan baku tetap dari kami Saat ini kami masih riset. Industri 4.0 harus terus dikembangkan.
Bagaimana menerapkan industri 4.0 di perusahaan, misalnya masalah sumber daya manusia?
Sekarang yang mengerjakan desain kami adalah anak-anak muda. Di perusahaan kami, lebih dari 60 persen karyawan adalah generasi milenial. Oleh karena itu, kami membuat perusahaan tekstil -yang biasa berantakan dan kotor- menjadi lebih nyaman dan disukai anak muda. Sekarang banyak karyawan yang menggunakan komputer dan layar sentuh, yang arahnya lebih ke teknologi.
Mencari sumber daya manusia susah dan gampang. Kalau sudah cocok, justru tidak mau pindah. Makanya lingkungan dibuat bagus agar anak-anak muda datang. Kalau pabrik kumuh dan jelek, anak-anak muda tidak mau datang.
Perang dagang menghambat ekspor industri, tetapi bagaimana Sritex mencatatkan pertumbuhan ekspor ke AS hingga 3 kali lipat secara tahunan pada laporan kinerja semester I-2019?
Jadi, kalau perang dagang, kami punya hal positif, Amerika Serikat dan Indonesia memiliki hubungan yang baik. Kami bisa memanfaatkan hal itu saat ini untuk stabiltias semuanya. Peluang masih ada di sela-sela perang dagang AS-China.
Memang saat ini ekspor terutama banyak ke AS karena AS merupakan motor ekonomi dunia yang besar. Akibat perang dagang, harus mencari pemasok baru (selain China). Nah, di situ peluang kita.