Mengelola Warga di Negara Tetangga
KBRI Dili aktif mendorong komunikasi dan koordinasi dengan semua pihak berkepentingan di Timor Leste dalam upaya memastikan kehadiran negara melindungi WNI di luar negeri.
Dili tidak pernah terasa asing. Menyusuri Jalan Americo Tomas—tepat berada di depan Hotel Timor—ke arah Jalan Presidente Nicolau Lobato, dengan mudah ditemukan warung-warung sederhana khas Indonesia. Ada bakso Mas Misbah, ada pula warung soto, serta ayam goreng plus lalapan. Rasanya tak berbeda jauh dari masakan-masakan serupa di Tanah Air.
Awal Juli lalu, saat bertandang ke ibu kota Timor Leste tersebut, suasana kota yang tenang itu segera mengingatkan pada kota-kota lain di Indonesia timur, seperti Ambon, Jayapura, dan tentu saja Kupang. Indah, dengan pantainya yang berpasir putih dan berombak tenang.
Meskipun di Dili umumnya orang berbicara dengan menggunakan bahasa Tetun atau Portugis, bahasa Indonesia tetap dikenal dengan baik. Komunikasi pun terjalin dengan lancar, karena itu tidak perlu takut tersesat atau lupa jalan pulang.
Tidak mengherankan, bagi sebagian warga Indonesia, Timor Leste negara tetangga dekat di belahan timur Indonesia itu adalah magnet. Negara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur itu merupakan salah satu negeri yang menarik untuk dikunjungi, bahkan untuk mencari nafkah atau menetap.
Dalam artikel yang dikirim oleh Sekretaris Pertama KBRI Dili Yulius M Kaka kepada Kompas, Jumat (9/8/2019), disebutkan di Timor Leste saat ini ada setidaknya 9.901 warga negara Indonesia. Jumlah tepatnya tentu boleh jadi lebih atau kurang dari angka itu karena ada sejumlah WNI yang belum melaporkan diri ke KBRI Dili.
Meskipun jumlahnya kurang dari 10.000—cukup kecil dibandingkan dengan total populasi Timor Leste yang menurut catatan Bank Dunia lebih dari 1,3 juta orang—populasi WNI di Timor Leste adalah populasi warga asing terbesar di negara itu.
Sebagian dari mereka bekerja di konstruksi, ada juga wiraswasta dan pengusaha. Ada pula WNI yang bekerja di sejumlah BUMN yang memiliki cabang di Timor Leste, seperti Bank Mandiri, Telkomsel, dan Pertamina. Yang unik, sebagian besar WNI yang berada di Timor Leste adalah ibu rumah tangga yang tinggal di negara itu sejak sebelum referendum digelar pada tahun 1999.
Menurut Yulius, yang bertugas di bagian kekonsuleran KBRI Dili, arus masuk WNI ke Timor Leste cukup tinggi. Data yang dikutipnya dari Kantor Imigrasi Timor Leste menunjukkan, sepanjang tahun 2018, sebanyak 44.368 WNI masuk ke Timor Leste melalui jalur darat di tiga pos lintas batas negara (PLBN). Jumlah itu belum terhitung dengan mereka yang masuk melalui jalur udara dan jalur tidak resmi.
Dalam berita berjudul ”Penjelasan Pemerintah Kecewakan Warga Perbatasan RI-Timor Leste” (Kompas.id, 10 Agustus 2019), disebutkan ada sejumlah titik tapal batas di wilayah perbatasan yang masih menjadi persoalan antara RI dan Timor Leste. Meskipun pada beberapa titik atau segmen wilayah telah diselesaikan, ada dua titik lagi yang masih dalam proses pembicaraan.
Baca juga : Warga Perbatasan RI-Timor Leste Kecewa
Tantangan
Pada satu sisi, derasnya arus mobilisasi warga Indonesia ke Timor Leste memperkuat relasi kedua negara, terutama melalui pertemuan antarwarga. Namun, di sisi lain, derasnya arus mobilisasi warga—terkait catatan masih adanya persoalan tapal batas dan penggunaan jalur-jalur perlintasan tidak resmi—menjadi tantangan besar yang dihadapi pemerintah kedua negara saat ini, terutama terkait potensi terjadinya kejahatan lintas negara.
Beberapa rekan wartawan yang ditemui pada Juli lalu mengatakan, jalur-jalur tidak resmi itu kerap dimanfaatkan sejumlah oknum yang berasal dari kedua negara untuk menyelundupkan bahan bakar, bahan kebutuhan pokok seperti gula, bahkan narkoba.
Awal tahun lalu, Kepolisian Nasional Timor Leste (PNTL) berhasil menggagalkan penyelundupan 162 ton serbuk prekursor (bahan baku) PCC (paracetamol, caffeine, carisoprodol) di pelabuhan Dili, Timor Leste. Kala itu, terkait temuan tersebut, Kepala Humas BNN Komisaris Besar Sulistyandriatmoko mengatakan, prekursor dikemas di dalam sembilan kontainer. Kontainer dimasukkan ke kapal kayu Berkat Selayar dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bahan itu cukup untuk membuat miliaran butir PCC.
PCC merupakan obat keras yang dikonsumsi harus dengan resep dokter. Penyalahgunaan secara berlebih bisa memicu gangguan mental. Terkait kasus itu, PNTL memeriksa tiga orang terkait prekursor itu, yaitu dua warga Indonesia dan satu warga Timor Leste. Adapun ketujuh anak buah kapal adalah WNI (Kompas, 11 Februari 2018).
Sebelumnya, pada pertengahan 2017, Kepolisian Resor Belu, NTT, menggagalkan penyelundupan 2.000 liter bahan bakar minyak (BBM) di Desa Silawan, perbatasan Indonesia-Timor Leste. Minyak tanah disimpan di dalam ratusan jeriken, kemudian ditumpuk di lima tempat di pantai perbatasan sebelum diangkut menggunakan perahu dayung pada malam hari menuju desa-desa di Timor Leste.
Kepala Polres Belu Ajun Komisaris Besar Yandri Irsan, ketika dihubungi dari Kupang, saat itu mengatakan, dirinya memimpin langsung pencegahan penyelundupan 2.000 liter BBM tersebut. Operasi pemberantasan penyelundupan BBM didukung Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste dan Brimob. Tim yang turun ke lapangan hanya menemukan BBM, tidak menemukan pemilik. Polisi masih menyelidiki pemilik BBM itu (Kompas, 30 Mei 2017).
Perbatasan darat
Menurut catatan KBRI Dili, sebagaimana disebutkan Yulius, selain di wilayah perairan, Indonesia dan Timor Leste memiliki perbatasan darat sepanjang 272 kilometer. Perbatasan darat kedua negara itu umumnya berupa perbatasan alam, yaitu sungai atau bukit. Hingga saat ini, hanya ada tiga PLBN, yakni Motaain-Batugade, Wini-Oecusse, dan Motamasin-Salele, serta enam pintu lintas batas resmi yang belum memiliki PLBN.
Selebihnya adalah jalur-jalur tidak resmi yang berpotensi dimanfaatkan pelintas batas ilegal dari kedua negara. Menurut catatan KBRI Dili, kondisi ini bahkan sudah terjadi bertahun-tahun. Di samping itu, kondisi perbatasan darat yang belum dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai kian menambah jumlah pelintas ilegal kedua negara.
Sejumlah persoalan keimigrasian pun muncul sebagai dampak dari situasi itu, seperti warga yang tidak memiliki dokumen, paspor hilang, overstay, tidak memiliki izin kerja, serta kasus keimigrasian lain. Karena itu, peningkatan hubungan dan kerja sama bilateral dalam isu keimigrasian dan kekonsuleran kedua negara merupakan suatu keniscayaan.
Menyikapi persoalan itu, Pemerintah Indonesia telah merencanakan untuk membangun PLBN di Napan, Timor Tengah Utara, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Bobometo, Distrik Oecusse, Timor Leste. Dalam sejumlah kesempatan pertemuan dengan pejabat tinggi terkait di Timor Leste, Duta Besar RI untuk Timor Leste Sahat Sitorus selalu mendorong kerja sama bilateral dalam pengamanan perbatasan kedua negara.
Sejumlah persoalan keimigrasian pun muncul sebagai dampak dari situasi itu, seperti warga yang tidak memiliki dokumen, paspor hilang, overstay, tidak memiliki izin kerja, serta kasus keimigrasian lain.
Lebih lanjut, dalam artikel itu disebutkan, upaya pencegahan masuknya WNI secara ilegal ke Timor Leste juga terus digalang oleh pemerintah dan KBRI Dili, antara lain melalui kampanye dan sosialisasi pentingnya lapor diri, memastikan bepergian dengan aman dan berdokumen, serta penghormatan kepada tata hukum setempat.
Selain itu, untuk memastikan seluruh WNI, baik yang bekerja, berkunjung, maupun menetap, di Timor Leste mendapatkan pelayanan dan perlindungan dari Pemerintah Indonesia, KBRI Dili pada 21 Maret 2019 menggelar pertemuan koordinasi terkait isu keimigrasian dengan menghadirkan pemangku kepentingan dari Indonesia dan Timor Leste.
Pertemuan koordinasi tersebut langsung dipimpin Dubes Sahat Sitorus dan dihadiri Direktur Intelijen Keimigrasian Indonesia Feri Monang Sihite, Komandan Polisi Maritim Timor Leste Lino Sahdayan, Komandan Unit Pengamanan Perbatasan Timor Leste John Reis, serta Komandan Operasional Keimigrasian Timor Leste Fortunato.
Pertemuan tersebut, antara lain, menyepakati komitmen kedua negara untuk mengambil langkah-langkah strategis, baik dalam rangka melindungi warga kedua negara secara keimigrasian maupun upaya-upaya pencegahan munculnya masalah keimigrasian, terutama di wilayah perbatasan darat kedua negara.
Tak hanya itu, KBRI Dili juga aktif mendorong komunikasi dan koordinasi dengan semua pihak berkepentingan di Timor Leste dalam upaya memastikan kehadiran negara melindungi WNI di luar negeri, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi ataupun Nawacita Presiden RI.
Untuk memperkuat upaya itu, KBRI menjalin kerja sama dengan banyak pihak di Timor Leste, antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama, Kepolisian Nasional Timor Leste, serta Kejaksaan Agung Timor Leste.
KBRI Dili aktif mendorong komunikasi dan koordinasi dengan semua pihak berkepentingan di Timor Leste dalam upaya memastikan kehadiran negara melindungi WNI di luar negeri.
Prinsip yang dikedepankan dalam kerja sama itu adalah kepedulian dan keberpihakan terutama dalam menyelesaikan permasalahan dan kasus-kasus yang menimpa WNI khususnya di Timor Leste.
Selain itu, juga memberikan pelayanan kekonsuleran dan perlindungan terhadap WNI yang mengalami masalah-masalah berat, seperti penyelundupan BBM, perampokan, narkoba, tindak pidana perdagangan orang, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebagai catatan, saat ini ada 26 WNI yang mendekam di penjara di Timor Leste, beberapa di antara mereka telah mendapat vonis yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Di sisi lain, terkait maraknya penyelundupan narkoba serta untuk meningkatkan keamanan di perbatasan, KBRI Dili menilai, perlu penguatan kerja sama yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas militer, polisi, serta bea cukai, termasuk menggelar patroli terkoordinasi antara Indonesia dan Timor Leste serta Australia. (*)