Pasuruan, Persimpangan Strategis Kerajaan Majapahit
Kota Pasuruan dan wilayah sekitarnya di Jawa Timur merupakan daerah strategis sebagai persimpangan penting bagi Kerajaan Majapahit. Sejumlah lokasi bersejarah Pasuruan di masa kolonial dijuluki sebagai ”Pasar Uang”.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Kota Pasuruan dan wilayah sekitarnya di Jawa Timur merupakan daerah strategis sebagai persimpangan penting bagi Kerajaan Majapahit. Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, dalam kunjungan lapangan ke Pasuruan pada 13-16 Maret 2019, menunjukkan sejumlah lokasi bersejarah Pasuruan yang di masa kolonial dijuluki sebagai ”Pasar Uang”. Dulu, Pasuruan memang berjaya berkat komoditas gula dan kopi.
”Wilayah Pasuruan itu persimpangan strategis ke Ujung Galuh, yakni Surabaya, juga ke daerah timur, yakni ke wilayah Tapal Kuda di Probolinggo hingga Jember, dan wilayah pusat kerajaan di Trowulan, kini sekitar Mojokerto. Wilayah awal Pasuruan dulunya di Rembang, di sebelah barat Bangil, yakni di delta Kali Porong. Raden Wijaya dulu bepergian ke Bangkalan di Madura dari wilayah Pasuruan lama tersebut,” kata Dwi Cahyono yang mendalami sejarah era Hindu-Buddha.
Menguasai daerah Pasuruan berarti memegang kunci jalur transportasi ketiga wilayah utama Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293 Masehi. Pada zaman Untung Suropati, pusat perlawanan dibentuk oleh Suropati dan keturunannya di wilayah Pasuruan yang menjadi penghubung ke pedalaman Mojokerto, Malang, dan pesisir ke arah Surabaya dan Madura.
Kejayaan Pasuruan era Majapahit berakhir tahun 1545 ketika penguasa setempat ditaklukkan oleh Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak Bintoro. Tokoh Pasuruan era akhir Majapahit adalah Pate Supetak yang disebut sebagai perintis Pasuruan modern.
Pasuruan kemudian menjadi basis persiapan Perang Blambangan antara VOC dan Kerajaan Mataram yang menaklukkan Kerajaan Hindu Blambangan tahun 1601.
Selanjutnya, sejumlah dinasti penguasa pun bergantian berkuasa di Pasuruan, dari Kiai Gede Kapoeloengan (1671-1645) alias Kiai Gede Dermoyudho I yang kemudian digantikan putranya, Kiai Dermoyudho II (1645 -1657). Dia diserang Mas Pekik dari Surabaya dan dikalahkan.
Mas Pekik pun memerintah sebagai Kiai Demoyudho III (1657-1671) hingga digantikan putranya, Kiai Onggojoyo, yang berkuasa 1671-1686. Kiai Onggojoyo kemudian digantikan Untung Suropati.
Pasuruan kemudian menjadi basis persiapan Perang Blambangan antara VOC dan Kerajaan Mataram yang menaklukkan Kerajaan Hindu Blambangan tahun 1601.
Dwi Cahyono mengatakan, tokoh penting yang menjadi penanda Pasuruan pasca-Majapahit adalah Untung Suropati yang bergelar Raden Adipati Wironegoro.
Dalam Antologi Sastra Pra-Indonesia terbitan Hasta Mitra tahun 1982 yang diedit Pramoedya Ananta Toer, terdapat bagian cerita yang ditulis ulang Ferdinand Wiggers berjudul Dari Boedak Sampai Djadi Radja yang diterbitkan Albrecht & Co di Batavia tahun 1898.
Novel sejarah ini mengulas dan mengidolakan perjuangan Untung Suropati. Padahal, ketika roman itu dicetak dan bersimpati kepada Suropati, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sudah kukuh berkuasa di Nusantara. Pramoedya lebih lanjut mencatat, nama Suropati diadopsi di Kalimantan, Maluku, dan Pasundan sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.
Suropati-Pasuruan modern
Erza Mubarok, guru Sejarah SMAN 1 Grati, Kabupaten Pasuruan, yang juga pegiat sejarah lokal Pasuruan, mengatakan, berbagai legenda Pasuruan sebagai ”Kota Juang” merupakan warisan Suropati. Untung Suropati menjadi Bupati Pasuruan dan melawan kompeni dalam kurun waktu 1686-1706.
”Kabarnya beliau gugur di Mangil. Hanya ada petilasan-petilasan yang diyakini terkait dengan Suropati. Berbagai sumber sejarah resmi kini sedang digali Pemkot Pasuruan,” kata Erza yang bersama siswa doktoral sejarah Universitas Gadjah Mada, Fransisco Dominic Hera, melakukan riset dan membangun komunitas sejarah setempat di Pasuruan.
Sejalan perkembangan, wilayah Pasuruan berpindah ke Kota Pasuruan modern saat ini, yakni sekitar 15 kilometer di sebelah timur kota Bangil. Pelabuhan Pasuruan pun pindah ke Muara Kali Gembong di Kota Pasuruan modern setelah wilayah Delta Kali Porong mengalami pendangkalan.
Berbagai wacana tentang Suropati pun diangkat di Pasuruan. Semisal, nama SMK Suropati yang menempati bangunan simbol prestise Pemerintah Hindia Belanda, yakni gedung Societeit Harmonie di Jalan Pahlawan.
Gedung ini dulunya merupakan pusat pemerintahan Gementee atau Kotapraja Pasoeroean yang diresmikan berdasarkan Staatblat (Lembar Negara) tahun 1918. Gedung Societeit adalah pusat kegiatan sosial elite masyarakat Eropa—Timur Asing—Bumiputera di kota-kota Hindia Belanda ketika itu.
Pusat Penelitian Gula atau Proefstation Oost Java pun didirikan di Pasuruan sebagai pusat penelitian dan riset gula. Pendiriannya demi mendukung komoditas unggulan pada abad ke-19 dan ke-20, yakni gula yang dalam perkembangannya menjadi cikal bakal Revolusi Industri di Jawa.
Kompleks yang kini menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) ini berada di sebelah Societeit Harmonie.
Erza Mubarok menambahkan, pahlawan nasional Douwes Dekker kelahiran Pasuruan tahun 1879 juga pernah bekerja di Proefstation Oost Java. Dinasti keluarga Tionghoa dari marga Han yang menjadi bagian dari industriawan gula juga turut berperan di Proefstation Oost Java hingga masa pasca-kemerdekaan Republik Indonesia.
Ekonomi Pasuruan medio 1800-an hingga awal 1900-an berkembang pesat. Warga superkaya yang terutama bekerja di sektor industri gula dan perdagangan menjadi tulang punggung ekonomi Pasuruan.
Dalam Ensiklopedia Hindia Belanda Bagian IV terbitan tahun 1921 yang turut disusun RM Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) disebutkan, pada awal abad ke-20, kapal-kapal besar dari Eropa, yakni Nederlansche en Rotterdamsche Lloyd, sudah lego jangkar sejauh 2,5 kilometer dari muara Kali Gembong. Disebutkan juga, kedalaman air di tempat lego jangkar kapal antarbenua tersebut sedalam 5 fathom yang setara dengan 30 kaki atau 9 meter.
Semasa itu, pabrik es, pabrik gas, pabrik cor tempa suku cadang kapal, dan mesin pabrik gula terdapat di Pasuruan.
Dosen Arsitek Universitas Kristen Petra menceritakan pembagian wilayah Pasuruan modern, yakni Pecinan di sekitar aliran Kali Trajeng di barat kota, wilayah Eropa di sekitar hulu Kali Gembong, perkampungan masyarakat Madura di Majangan sekitar pelabuhan, perkampungan masyarakat Jawa dan para priayi di sekitar Masjid Jami, serta hunian masyarakat keturunan Timur Tengah di Bangilan.
Wilayah persimpangan transportasi Kerajaan Majapahit itu pun berkembang menjadi kota modern yang kini menjadi daerah satelit di selatan kota raya Surabaya. Industri gula yang kini menyurut berganti menjadi pusat perdagangan dan transit yang kini mendapat warna baru dengan keberadaan Tol Trans-Jawa yang direncanakan menyambungkan jalur darat Surabaya-Banyuwangi.