Gamelan Bali sudah beberapa kali digunakan sebagai latar musik pengiring adegan. Entak dan ketuk iramanya yang dinamis dan cenderung agresif bisa didengar, misalnya dalam ”Avatar” karya James Cameron, salah satu episode serial televisi ”Star Trek”, bahkan permainan konsol ”Mario Bros”. Sutradara kelahiran Blitar, Jawa Timur, Livi Zheng, yang berkiprah di industri perfilman Hollywood, Amerika Serikat, tergerak untuk membuka mata dunia bahwa gamelan termasuk dari Bali merupakan kekayaan warisan budaya Nusantara (Indonesia). Dari kreasi mantan atlet wushu ini lahirlah film semidokumenter ”Bali: Beats of Paradise” yang sudah diluncurkan di jaringan bioskop Tanah Air.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·6 menit baca
Gamelan Bali bukan Gamelan Jawa yang melahirkan ”Puspawarna” gubahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Puspawarna, komposisi etnik nan klasik itu, ada di antara beberapa rekaman suara Voyager Golden Record. Cakram emas informasi bumi ini dibawa oleh satelit jelajah semesta Voyager 1 yang diluncurkan pada 5 Juli 1977 dan kini telah berada di luar sistem tata surya Matahari.
Kendati demikian, Gamelan Bali diyakini menjadi bagian kehadiran potongan gambar Penari Bali yang ternyata turut diabadikan dalam Voyager Golden Record. Potret juga dibawa misi satelit interstellar itu ke lokasi terjauh semesta dengan harapan ditemui dan diapresiasi oleh kehidupan antarbintang.
Di Bumi, Gamelan Bali sudah beberapa kali digunakan sebagai latar musik pengiring adegan. Entak dan ketuk iramanya yang dinamis dan cenderung agresif bisa didengar, misalnya dalam Avatar karya James Cameron, salah satu episode serial televisi Star Trek, bahkan permainan konsol Mario Bros.
Sutradara kelahiran Blitar, Jawa Timur, Livi Zheng yang berkiprah di industri perfilman Hollywood, Amerika Serikat, tergerak untuk membuka mata dunia bahwa gamelan termasuk dari Bali merupakan kekayaan warisan budaya Nusantara (Indonesia). Dari kreasi mantan atlet wushu ini lahirlah film semidokumenter Bali:Beats of Paradise yang sudah diluncurkan di jaringan bioskop Tanah Air.
Rangkaian gambar bergerak ini telah diputar di AS dan Korea Selatan menjelang akhir tahun lalu. Respons publik mancanegara terhadap film ini diklaim positif. Sejumlah ulasan di media massa juga beragam dan rata-rata positif. Film mengikutkan video klip komposer Judith Hill yang berjudul Queen of The Hill yang dalam Sun and Moon Films, saluran Youtube, sampai dengan Jumat (9/8/2019), telah ditonton 1,188 juta kali. Dalam video ini, Judith, peraih penghargaan musik film terbaik dalam Grammy Awards ke-57 pada 2015, mengolaborasikan unsur jenis musik funk dan gamelan Bali.
Livi dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan aparatur Pemprov Jatim serta kalangan publik, Rabu (7/8), hadir dalam pemutaran perdana Bali: Beats of Paradise di Grand City Surabaya. Sehari sebelumnya, Livi memutar film itu di jaringan bioskop kota kelahiran di Blitar.
Sinema berdurasi hampir 60 menit itu bercerita tentang secuil waktu perjalanan gamelan Bali dalam kehidupan I Nyoman Arjasa Wenten. Sosok ini merupakan guru musik Bali dan tari di tiga kampus. Masing-masing Jurusan Etnomusikologi The University of California Los Angeles (UCLA), UCLA Herb Alpert School of Music, dan The California Institute of The Arts (CalArts).
Alur cerita yang diselingi wawancara mengisahkan Wenten saat masih berusia dua tahun ditinggal ibunda yang dijemput maut. Hidup terasa sengsara karena anak lelaki ini harus mengikuti ayahanda sebagai pengukir batu pura. Hari-hari penuh dengan main selagi bapak bekerja.
Kerap dirinya sedih karena pulang dan membuka panci di dapur, tetapi kosong alias tiada makanan. Dipukul perasaan minder dan lapar, Wenten menuju kediaman kakek, Pekak Dalang Sading, dalang yang membentuk calonarang di Pura Dalem Kediri di Sading, demi mendapat kasih sayang.
Seperti sudah suratan takdir, Wenten cilik senang melihat tari dan gamelan. Darah seni dalam nadinya memanas. Terdorong naluri dan hasrat yang belum dipahaminya, Wenten di bagian belakang kediaman pekak (salah satu kosa kata Bali untuk kakek), menirukan tari-tari yang dilihatnya. Wenten juga belajar sendiri menabuh kendang dan gamelan.
Tingkah Wenten menarik perhatian kakiang (kakek). Dengan kasih luar biasa, sang kakek yang merupakan dalang, musisi, dan penari membuka mata dan melatih Wenten. Sang cucu dikenalkan dengan beberapa guru-guru tari dan gamelan ternama di Nusa Dewata.
Pada suatu senja, Wenten diajak sang kakek ke Pura Dalem Kediri sambil membawa kostum dan perlengkapan untuk pentas menari. Wenten gentar dan gemetar karena belum pernah latihan. Namun, si anak hanya bisa pasrah dirias dan diminta mengenakan seperangkat pakaian untuk Tari Baris.
Di gerbang pura, sang pekak sedikit mendorong Wenten dan alunan gamelan dimulai. Seketika, Wenten menari dengan lincah sampai selesai. Dari sini muncul tekad tinggi untuk menjalani laku hidup di jalur tradisi tari dan gamelan yang kemudian mengubah dunia hidupnya.
Wenten menceritakan, sejumlah maestro tempatnya menimba ilmu antara lain Beratha Armawa, Raka Bongkasa, Oka Sading, Nyoman Kakul, Raka Saba, Wayan Rendi, Agung Breset, dan I Gusti Nyoman Panji. Dalam perjalanan hidup, Wenten bertemu dengan Nanik, anak dari mendiang maestro karawitan, Wasi Jolodoro atau Ki Tjokrowarsito yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Notoprojo. Nanik merupakan guru Tari Jawa dan Tari Bali yang kemudian dipacari dan dinikahinya.
Saat membina keluarga dan dikaruniai dua anak, Wenten dan Nanik menerima ”tugas” mulia mengenalkan kebudayaan Indonesia ke mancanegara khususnya AS. Jauh sebelumnya, dalam misi kesenian Presiden Soekarno, Wenten muda dipilih oleh negara untuk menari dan mengenalkan budaya Nusantara ke poros Asia. Wenten menari di hadapan pemimpin China, Korea Utara, Jepang, Thailand, dan Kamboja saat itu. Wenten mendapat kehormatan bertemu dan berjabat tangan dengan Mao Zedong, Kim Il Sung, Hirohito, Bhumibol Adulyadej, dan Norodom Sihanouk.
”Tiada hadiah yang dapat menggantikan kehormatan itu,” ujar Wenten.
Saat masih belajar di Akademi Seni Tari Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta, Wenten sudah mendapat kepercayaan untuk mengajar Tari Jawa dan Tari Bali di AS. Wenten juga mengajar tari di Ubud, Bali, bersama sang mertua, Ki Tjokrowarsito. Mereka kemudian ke AS untuk mengenalkan karawitan Bali. Di AS itulah, Wenten belajar sekaligus mengajar di CalArts. Di negeri ini, kelasnya menjadi populer. Minat orang AS mengetahui seni budaya Bali ternyata tinggi.
Wenten sempat pulang ke Bali untuk kiprah kesenian setelah menamatkan S-2. Namun, Wenten balik lagi ke AS untuk mengajar sekaligus menamatkan S-3 di UCLA. Di negeri tersebut, Wenten nyaris selalu berbusana khas Bali. Ia gigih mengenalkan seni budaya Jawa dan Sunda bersama sang istri, Nanik Wenten.
Pensiun
Dalam film diceritakan kolaborasi Wenten dan Judith dalam video klip dengan sutradara Livi. Wenten berambisi video klip itu bisa tembus dilihat lebih dari 1 juta orang. Berbagai kesulitan dihadapi dan bisa diatasi sehingga singkat cerita video selesai dan dirilis.
Saat sedang di Bali, Wenten awalnya melihat yang menonton video musik itu di Youtube tak sampai 10 orang. Berhari-hari kemudian, jumlah klik tak tembus 100. Wenten merasa sedih, terpukul, dan gagal.
Namun, Judith dan Livi pantang menyerah. Seiring waktu, video musik Queen of The Hill menembus 1,18 juta kali dilihat. Wenten sumringah dan amat gembira. Bukan jumlah juta, sebenarnya, yang ingin diraihnya, melainkan peluang besar meyakinkan publik dunia tentang kelestarian dan pelestarian seni budaya Bali. Sebelum purnatugas dan kembali ke Nusa Dewata untuk menjemput akhir hidup, Wenten berharap Bali tetap mendapat tempat di hati warga dunia.
Film juga sedikit mengangkat sosok musisi muda I Wayan Balawan yang terkenal dengan teknik touch tapping style pada gitar. Balawan berharap seni budaya Bali tetap digemari dan dilestarikan. Suatu keironian jika peradaban Nusantara diagungkan dan dilestarikan oleh rakyat mancanegara, tetapi bangsa sendiri terkesan risih, minder, bahkan mengabaikannya.