PUISI
Ook Nugroho
Laut
Tak ada kata pertama
dalam puisi. Kita hanya ombak sepercik
tercemplung dalam buas
samudra. Mungkin ada yang masih
bermimpi menemu pantai –
serupa garis semu
antara tuju dan asal. Lupakan
tiada yang kita pahami
di luas tak berbelas ini.
Bahkan riwayat kita larut
dalam kalut gelombang. Jarak
telah memisah kita –
memecahnya jadi ribuan alamat
kabur. Ke utara, ke selatan
membentur rawan karang
waktu, menjemput hilang. Kita
buat sesaat yang purba
kekal dalam ini debur
ketiadaan.
Di Rumah Duka
Si mati ini menatap kita
Ia mungkin mau bicara
Sekali lagi, sudah itu baring rata
Mandang pucat lelangit
Kita mungkin melihatnya iba
Menyapa tapi lambai tak sampai
Kosong ruang mewarta tiada lagi
’Antara kita jurang tinggal’
Si mati ini menyapa kita
Ia mungkin mau bicara
Lagi sekali, sudah itu pejam
Simpan inti kisah jauh di dalam
Mari beri ia tabik mesra
Duka yang tak punya lidah
Satukan dalam kumandang
Madah malam yang sumarah
Penguburan
Pada saatnya
tubuhmu diturunkan
ke dasar
kisah –
usai sudah lakonmu.
Kau kini puisi,
maha puisi,
tiada lagi
kata perlu ditambahkan
pada putih halamannya,
tinggal kosong
waktu.
Sedang ruh,
sebagai kupu
terbang merdeka,
nembus inti hakikat.
Pulang
ke kampung asal,
nun di sebalik
nama-nama,
jauh di sayup relung,
di mana ia suwung.
Luhung.
Ruang
Di dalam sajak pendek ini
Telah kusiapkan ruang untukmu
Aku tahu jauh dari nyaman
Kuharap tapi kau jadi terbiasa
Jendelanya sempit menyapa langit
Sejumlah nama dan kenangan usang
Teronggok begitu saja di sudut
Yang sudah jarang didatangi
Pintunya tak terkunci sejak mula
Sesiapa pun jadi leluasa keluar dan masuk
Merdeka menaruh atau mencuri entah apa
Barangkali sepasang kasut, dan kisah butut
Aku mohon maaf, sebab abai merancang hiasan
Padahal kau teramat suka gambar dan bebunga
Tentulah enam dindingnya jadi lengang terasa
Sebab bayang waktu diam tak berpangkal
Ramoun Apta
Mencabut Batang Pinangan
Kayu-kayu bendungan itu sudah kulepas,
Keranjang pukat itu sudah aku angkat,
Bahkan, kini tak ada lagi tunggul kecik
Penghalang bagi itik yang hendak mudik.
Kau yang ikan, pergilah.
Lepaslah kau, berenang
Menyelami dasar sungai
Menuju muaramu yang baru.
Pergilah kau,
Lesap bersama arus air.
Kini, biarkan aku di sini,
Menjahit selembar sirih
Yang tersobek separuh ini.
Ular yang hendak berpindah
Dari sungai ke kolam
Juga sudah bebas
Keluar-masuk
Ke tempat ini.
Kini, biarkan aku sendiri
Menambal pinang mengkal
Yang terkunyah setengah gigi.
Ibarat Sungai
Telah aku kupas kulit tanah
Selimut dara di sekujur mata tunasmu.
Telah aku belah batu keras
Tunggul beku yang menutupi jalan akarmu.
Tapi kenapa tak berbuah juga
Emas itu pada lempungmu.
Telah aku rebahkan
Seluruh gelora
Cacing gila
Hasratku padamu.
Tapi tak kudapatkan juga air basah
Dari rahimmu yang menyuburkan aku.
Kini aku terbangun
Untuk kesekian kali
Dari mati suri.
Maka ketika aku
Tak juga menemukanmu
Berada di sampingku
Bagai sapi gila
Aku mengamuk
Dan menghancurkan
Bayang-bayang matahari
Di permukaan sungai ini.
Balada Durian Muda
Akan ada satu bibit durian
Tumbuh di atas tanah berpasir.
Bibit itu tumbuh
Dari biji menjadi tunas
Dari tunas menjadi batang
Dari batang menjadi dahan.
Bayang-bayang dahan memantul di atas air
Rembulan berlayar tertusuk ilalang.
Di ujung, cabang bersimpang menumbuhkan daun,
Ketiak daun terbuka menunaskan bunga.
Bunga berurai menumbuhkan buah.
Buah bunting
Lepas dari tampuk
Jatuh ke tanah
Terguling
Membentur batu-batu.
Di samping batu
Durian tergeletak menguarkan bau harum
Durinya mencucuk hijau rumput.
Durian itu
Menunggu waktu untuk disantap.
Tapi sayang, tak satu orang pun
Datang memungutnya.
Bujang Inau kepada Supek Langap
Minggumu buah masak yang terpajang di etalase dagang,
Sedang mingguku retak serai dihempas angin pincang.
Bulanmu alat ukur tensi si juru rawat dengan paras berminyak intan,
Sedang bulanku kardus bekas pembungkus obat generik seusai dipahat hujan.
Tahunmu ketan hitam yang sempurna menjadi tapai,
Sedang tahunku bubur kacang hijau yang tercampak ke luar pinggan
Sebelum makan.
Ook Nugroho lahir di Jakarta, 7 April 1960. Dua buku puisinya adalah Hantu Kata (2010) dan Tanda-tanda yang Bimbang (2013).
Ramoun Apta lahir di Muarabungo, Jambi. Bergiat di Komunitas Seniman Bungo (KSB). Buku puisinya berjudul Pedagang Batu Mustika di Pasar Raya (2018).