Suka atau tidak suka, program Sejuta Rumah telah menjadikan angka satu juta rumah sebagai ukuran keberhasilan pemerintah dalam penyediaan hunian bagi masyarakat. Indikator masalahnya juga dalam bentuk kuantitas, yakni 11,4 juta angka kekurangan rumah untuk kepemilikan dan 3,4 juta rumah tidak layak huni.
Dengan dasar itu, setiap tahun pemerintah merilis angka penyediaan atau pembangunan rumah menggunakan berbagai skema, baik rumah subsidi maupun komersial. Angka tersebut berasal dari berbagai mekanisme, yakni pembangunan rumah oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pembangunan rumah oleh pengembang dengan subsidi dari pemerintah, pembangunan rumah secara swadaya, dan pembangunan rumah komersial.
Dalam konteks itu, klaim pencapaian target penyediaan rumah dirilis setiap tahun, yakni 904.758 unit pada 2015, 699.770 unit pada 2016, 805.169 unit pada 2017, dan 1.132.621 unit pada 2018. Tahun ini, sampai dengan 5 Agustus, menurut klaim pemerintah, ada 735.547 unit hunian atau rumah telah dibangun.
Kebutuhan hunian masyarakat akan terus ada, yang diperkirakan sebanyak 500.000-700.000 unit per tahun. Angka kekurangan rumah atau backlog merepresentasikan hal itu.
Pertanyaannya, apakah pembangunan rumah atau hunian akan membereskan semua persoalan? Apakah persoalan perumahan rakyat hanya sebatas kuantitas?
Urusan perumahan rakyat bukan sekadar soal rumah (house), melainkan hunian (home). Jika hunian menjadi dasar, maka ukurannya adalah kenyamanan, keterjangkauan, dan berujung pada peningkatan kesejahteraan.
Selanjutnya, diturunkan menjadi lokasi, harga hunian, bunga kredit, akses transportasi, dan harga material. Yang tidak kalah penting untuk konteks di Indonesia adalah kebiasaan terkait pemahaman sosial budaya masyarakat.
Bagi pemerintah, kelompok yang dinilai rentan dan tidak akan bisa memiliki rumah jika tidak dibantu adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan demikian, skema bantuan perumahan dibuat sesuai kelompok yang disasar.
Bagi kelompok dengan pendapatan tidak pasti, ada program pembangunan rumah khusus dan bantuan stimulan perumahan swadaya, termasuk dana sosial perusahaan. Yang terbaru, skema bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan juga dapat menyasar kelompok ini
Untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dengan penghasilan tetap, ada skema subsidi seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan dan subsidi selisih bunga. Namun, skema ini juga masih belum lepas dari kritik karena subsidi dinilai tidak tepat sasaran.
Akan tetapi, skema pembiayaan tersebut bergerak di sisi hilir. Di sisi lain, persoalan hunian atau rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat pada umumnya menghadapi tantangan berupa ketersediaan lahan yang terjangkau.
Dengan luas lahan yang relatif tetap, sedangkan kebutuhan setiap tahun terus bertambah, kebijakan perumahan tanpa memperhatikan ketersediaan lahan hanya akan menyisakan bom waktu. Demikian pula, menyerahkan skema penyediaan perumahan kepada mekanisme pasar hanya akan memperlebar jurang antara yang kaya dengan yang miskin.
Kembali pada persoalan tentang rumah atau hunian, indikator berupa kuantitas dalam perumahan memang penting. Namun, kebijakan perumahan tidak cukup jika hanya bersandar pada jumlah. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)