Momen Bagi Penyintas Gempa Lombok untuk Saling Menguatkan
Bagi warga Dusun Guntur Macan, Desa Guntur Macan, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Idul Adha menjadi momen untuk terus saling menguatkan dan sama-sama bangkit pascagempa.
Oleh
Ismail Zakaria
·4 menit baca
Meski masih menggunakan masjid darurat, pelaksanaan Salat Idul Adha oleh warga penyintas gempa di Dusun Guntur Macan, Desa Guntur Macan, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Minggu (11/8/2019), tetap berlangsung khidmat. Bagi mereka, Idul Adha menjadi momen untuk terus saling menguatkan dan sama-sama bangkit pascagempa.
Begitu doa penutup khutbah selesai dibacakan khatib sekitar pukul 07.40 Wita, selawat (doa kepada Allah untuk Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya) terdengar lewat pengeras suara. Jemaah yang semula duduk, lalu sama-sama berdiri.
Jemaah laki-laki mengisi bagian depan masjid. Sedangkan perempuan di bagian belakang. Mereka terpisah oleh partisi (sekat) dari kain. Di area masing-masing, mereka kemudian saling bersalaman sambil melantunkan selawat.
Tidak hanya bersalaman, mereka juga saling berpelukan seraya mengusap punggung, mencium pipi, termasuk mencium tangan bagi yang muda ke yang lebih tua. Semua berjalan penuh kehangatan, semangat, bahkan disertai gelak tawa lepas.
“Setelah setahun berlalu, sebagian dari kami sebenarnya masih trauma atau khawatir. Tetapi, ini momen penting, jangan sampai kekhawatiran itu menjadi halangan,” kata Samiun, warga Guntur Macan.
Oleh karena itu, menurut Samiun, yang terpenting bagi mereka adalah bisa merayakan Idul Adha, apa pun kondisinya, termasuk menggunakan masjid darurat. “Idul Adha tahun lalu, kemudian Idul Fitri tahun ini, juga menggunakan masjid darurat ini,” kata Samiun.
Masjid darurat yang digunakan warga Dusun Guntur Macan terletak beberapa puluh meter dari Masjid Quba’, masjid utama di sana. Saat ini, Masjid Quba’ tengah dalam proses pembangunan kembali.
Seperti namanya, masjid darurat yang dibangun warga, sekitar 10 kilometer utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat itu, sangat sederhana. Atapnya dari seng yang disangga belasan tiang kayu.
Dinding masjid yang dibangun di antara rumah tahan gempa (RTG) itu terbuat dari seng yang dipasang melebar sepanjang pinggir masjid. Sedangkan lantainya dari papan-papan kayu yang dilapisi karpet. Di sisi timur, terdapat tiga keran air yang digunakan warga untuk berwudhu.
“Keadaannya memang seperti ini. Kami terima apa adanya. Kondisi ini tidak akan bisa menghilangkan makna Idul Adha bagi kami,” kata Tohri (35), warga lainnya.
Tetapi, kami tidak mau larut dalam kondisi itu. Ini (Idul Adha) jadi salah satu momen untuk bangkit.
Menurut Tohri, gempa bumi yang mengguncang Lombok dan merusak sekitar 88,5 persen dari total rumah yang dihuni 925 keluarga (2.566 jiwa), termasuk rumahnya, hampir membuat warga kehilangan arah.
“Tetapi, kami tidak mau larut dalam kondisi itu. Ini (Idul Adha) jadi salah satu momen untuk bangkit,” kata Tohri, yang rumahnya ikut rusak dan proses rehabilitasinya sudah mencapai 60 persen.
Menurut Samiun, selain menguatkan rasa cinta pada Islam, Idul Adha juga jadi momen untuk menguatkan satu sama lain. “Maka, kalau dilihat tadi, semua saling bersalaman, saling memeluk, untuk menyalurkan semangat agar tidak khawatir, agar trauma mereka hilang,” kata Samiun.
Pulih
Niat itu, menurut Masirah (65), warga lain, yang membuat mereka sejak pagi antusias datang ke masjid darurat. Mereka datang sendiri atau bersama keluarga. Perempuan mengenakan mukena dan sarung, sedangkan laki-laki dengan peci, baju koko serta sarungnya. Mereka pun mengikuti seluruh proses shalat Ied dengan khidmat.
“Kami tentu berharap dan berdoa agar kondisi benar-benar kembali pulih serta tidak ada gempa atau bencana lagi,” kata Masirah.
Gempa bermagnitudo 7,0 yang mengguncang Lombok dan wilayah terdekat seperti Pulau Sumbawa dan Bali tidak hanya merusak bangunan, tetapi juga merenggut korban jiwa.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Januari 2019, tercatat 564 orang meninggal (dua di antaranya di Bali, dua di Sumbawa Barat, dan lima di Sumbawa), 1.886 orang luka-luka, dan 472.419 orang mengungsi. Sementara, rumah rusak mencapai 216.489 unit.
Semangat itu yang kemudian mendorong semua pihak mempercepat pemulihan.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB Ahsanul Khalik mengatakan, kisah Nabi Ibrahim yang diminta mengorbankan anaknya, Nabi Ismail, yang menjadi awal sejarah qurban Idul Adha, adalah ujian bagi umat Islam. Dalam konteks bencana, gempa yang mengguncang Lombok adalah ujian bagi masyarakat NTB.
“Qurban dalam konteks bencana ini adalah bagaimana kita berempati dan kemudian bahu membahu membantu saudara-saudara kita sehingga menimbulkan kebersamaan sekaligus mendekatkan kita pada Allah,” kata Ahsanul.
Menurut Ahsanul, semangat itu yang kemudian mendorong semua pihak mempercepat pemulihan. Jika dikaitkan dengan Idul Adha, maka itu menjadi momen untuk mengorbankan tenaga, waktu, dan pikiran untuk pemulihan penyintas gempa.