Salah satu perintis harian Kompas, Polycarpus Swantoro, atau yang akrab dipanggil Pak Swan meninggal dunia pada Minggu (11/8/2019) di kediamannya, Kompleks PWI Cipinang, Jakarta Timur, pukul 03.30 WIB. Sebagai seorang jurnalis yang memiliki minat di bidang sejarah, tulisan Pak Swan mampu mempengaruhi pola pikir pembaca dalam melihat sebuah peristiwa.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu perintis harian Kompas, Polycarpus Swantoro, atau yang akrab dipanggil Pak Swan meninggal dunia pada Minggu (11/8/2019) di kediamannya, Kompleks PWI Cipinang, Jakarta Timur, pukul 03.30 WIB. Sebagai seorang jurnalis yang memiliki minat di bidang sejarah, tulisan Pak Swan mampu mempengaruhi pola pikir pembaca dalam melihat sebuah peristiwa.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid menceritakan awal pertemuannya dengan Pak Swan. Pada 2002, ia menghadiri peluncuran buku Pak Swan berjudul Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu.
Dalam pertemuan tersebut, mereka terlibat diskusi yang menarik. Sejak saat itu, Hilmar melihat Pak Swan adalah sosok pembaca buku yang detail dan bersahaja.
”Meskipun beliau senior, ia mau menerima kritik saat berdiskusi,” ujar Hilmar. Sejak saat itu, Hilmar beberapa kali bertemu dengan Pak Swan untuk berdiskusi.
Menurut Hilmar, Pak Swan memiliki pengetahuan umum yang luas, tetapi tidak pernah mengklaim dirinya seorang yang ahli. Meskipun seorang yang generalis, Pak Swan mampu menjaga kedalaman di dalam tulisannya.
Hilmar juga melihat tulisan Pak Swan dapat mempengaruhi dan membentuk pendapat publik. ”Ia mampu memandang segala peristiwa melalui perspektif historis. Segala peristiwa yang ada saat ini dibentuk oleh masa lalu. Saya melihat apa yang dilakukan Pak Swan membentuk perspektif wartawan Kompas dalam menulis,” ujar Hilmar.
Sikap jujur dan keberanian Pak Swan dalam mengambil tanggung jawab yang besar dapat menjadi contoh yang bisa ditiru oleh wartawan Kompas.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy mengingat nasihat Pak Swan terkait dengan kerja wartawan. Pak Swan mengibaratkan kerja wartawan dan media seperti melubangi cadas dengan tetesan air.
”Sekeras apa pun akan berlubang apabila tetesan itu terus terjadi. Perubahan akan terjadi kalau terus dilakukan secara konsisten, sebesar apa pun tantangannya. Semoga Pak Swan damai di sisi Tuhan,” kata Ninuk.
https://youtu.be/9xcmfZmAyjI
Wakil Pemimpin Umum Kompas dan anak dari Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Lilik Oetama, telah mengenal Pak Swan sejak masih anak-anak karena Pak Swan merupakan teman ayahnya sejak di Seminari Menengah Santo Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah (setingkat dengan sekolah menengah atas).
Sejak saat itu, mereka bersahabat dan saling membantu. ”Ketika bapak sedang kesusahan, Pak Swan yang menenangkan,” ujar Lilik.
Menurut Lilik, Pak Swan memiliki karakter yang bertolak belakang dengan ayahnya. Pak Swan sangat terbuka dan tegas, sedangkan Pak Jakob lembut. ”Sikap jujur dan keberanian Pak Swan dalam mengambil tanggung jawab yang besar dapat menjadi contoh yang bisa ditiru oleh wartawan Kompas,” kata Lilik.