Salah satu perintis harian Kompas, Polycarpus Swantoro, meninggal pada Minggu (11/8/2019) di kediamannya, Kompleks PWI Cipinang Muara, Jakarta Timur, pukul 03.30. Ia dikenal sebagai sosok guru yang tegas dan dekat dengan semua orang.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu perintis harian Kompas, Polycarpus Swantoro, meninggal pada Minggu (11/8/2019) di kediamannya, Kompleks PWI Cipinang Muara, Jakarta Timur, pukul 03.30. Ia dikenal sebagai sosok guru yang tegas dan dekat dengan semua orang.
Swantoro, atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Swan, lahir di Yogyakarta, 26 Januari 1932, dan pensiun dari Kompas Gramedia (KG) tahun 2002. Ia pernah menjadi wartawan harian Kompas dan menduduki jabatan penting di KG.
Putra pertama Pak Swan, Nuranto (58), menceritakan, ayahnya meninggal saat tidur di samping ibunya, Rosa Antonia Kusmardijah (84). Ketika itu, Rosa tidak mendengar suara dengkuran Pak Swan.
”Ibu coba membangunkan bapak, tetapi sudah tidak gerak lagi,” kata Nuranto.
Ia pun terkejut karena pada siang hari masih berbincang-bincang dengan ayahnya. Bahkan, pada sore harinya, Pak Swan masih ke Gereja Santo Antonius Padua, Bidaracina, Jakarta Timur, mengikuti misa.
Nuranto menuturkan, ayahnya tidak pernah mengeluhkan rasa sakit apa pun. Namun, Sabtu (10/8/2019) malam, Pak Swan mulai sulit makan, padahal almarhum sangat gemar makan dengan lauk ayam.
Sebagai seorang anak, Nuranto melihat Pak Swan sebagai sosok ayah, guru, dan teman. ”Bapak kalau ngobrol dengan saya seperti teman karena pakai bahasa pergaulan. Namun, untuk bisa nyambung dengan bapak, harus banyak membaca dan memiliki pengetahuan yang luas terlebih dahulu,” ujarnya.
Bapak kalau ngobrol dengan saya seperti teman karena pakai bahasa pergaulan. Namun, untuk bisa nyambung dengan bapak harus banyak membaca dan memiliki pengetahuan yang luas terlebih dahulu.
Ia mengenal ayahnya sebagai orang yang tegas dan pekerja keras sehingga jarang bertemu di rumah. Selain itu, ayahnya juga tidak suka pada orang yang banyak bicara tanpa dasar ilmu pengetahuan atau asal bicara.
Mantan wartawan dan Manajer Diklat Harian Kompas Tonny Widiastono menceritakan, Pak Swan adalah sosok guru yang sangat keras dan tegas. Ia sangat menaati aturan dan tidak ada kompromi.
Menurut Tonny, sifat tersebut melengkapi karakter Jakob Oetama yang halus dan tidak ingin melukai perasaan orang lain. Keduanya pun bergantian menulis Tajuk Rencana di harian Kompas.
Meskipun terkesan galak, Pak Swan sangat perhatian dengan tulisan para wartawan. Sosok guru tersebut juga ditunjukkan Pak Swan ketika menjabat Direktur SDM dan Umum KG. Pak Swan masih sering datang ke ruang pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk mengajar calon wartawan.
Mantan wartawan dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono menceritakan, Pak Swan adalah sosok pemimpin yang sangat dekat dengan anak buahnya. ”Ia sangat terbuka ketika berbicara dan semua orang bisa dekat dengannya,” katanya.
Trias sering dipanggil Pak Swan ke ruangannya ketika masih menjadi editor. Almarhum sering menunjukkan kepada Trias ketika ada buku baru dan meminjamkan buku-buku tersebut kepadanya.
Sebagai sosok guru, Pak Swan selalu mengajarkan, wartawan harus banyak membaca sebelum menulis. Ia tidak ingin wartawan menulis tanpa ada dasar pengetahuan. Dalam mengajar, menurut Trias, Pak Swan sangat menyenangkan karena sangat mengenal sejarah Kompas sejak awal berdiri.
Pak Swan selalu mengajarkan, wartawan harus banyak membaca sebelum menulis. Ia tidak ingin wartawan menulis tanpa ada dasar pengetahuan.
Kecintaannya pada Kompas ditunjukkan Pak Swan dengan selalu menghubungi Trias seminggu sekali meskipun sudah pensiun. Pak Swan masih sering mengajak berbicara Trias untuk menanyakan situasi kantor. Almarhum juga memberikan masukan terkait ide peliputan.
Selain membaca, hobi Pak Swan lainnya adalah mendengarkan lagu klasik. Salah satu lagu klasik yang sangat disukainya berjudul ”Ave Verum Corpus” karangan WA Mozart.
Sekitar lima tahun lalu, Pak Swan meminta konduktor The Indonesia Choir, Jay Wijayanto, untuk menyanyikan lagu ”Ave Verum Corpus” apabila sudah mendekati kematian. Jay pun terkejut sebab lagu tersebut dikarang oleh Mozart ketika mendekati kematian. Menurut Jay, lagu itu memiliki nilai spiritualitas yang mendalam.
Selain ”Ave Verum Corpus”, lagu lain yang sangat digemari Pak Swan adalah ”Panis Angelicus” dan ”Ave Maria”. ”Almarhum sangat menyukai lagu bertema Maria,” ujar Jay.
Jabatan
Pak Swan pernah menjabat Wakil Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Direktur SDM dan Umum KG, Direktur Utama Kelompok Hotel dan Resor KG Grahawita Santika, serta Direktur Utama Percetakan Gramedia.
Menjelang pensiun, Pak Swan menjabat Wakil Presiden Direktur KG yang ketika itu dipegang oleh Jakob Oetama.
Di luar KG, Pak Swan tercatat sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan International Press Institute pada tahun 1980-an.
Sebelum berkarier di KG, Pak Swan pernah menjadi guru SMA Stella Duce Yogyakarta, dosen Sejarah IKIP (sekarang Universitas Sanata Dharma), dan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Kerja kewartawanannya dirintis di redaksi beberapa majalah yang berbasis di Yogyakarta serta membantu majalah Intisari dari Yogyakarta. Akhirnya dia berdomisili di Jakarta sejak bergabung bersama KG.
Sejarah adalah bagian penting dalam hidup Pak Swan. Hal tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya buku-buku hasil karyanya berjudul Masa Lalu Selalu Aktual (2 jilid) yang merupakan kumpulan tulisannya setelah mengasuh rubrik ”Fokus Peristiwa Pekan Ini” di harian Kompas dan Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Semuanya terbitan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Pada masa pensiunnya, Pak Swan mendirikan Yayasan Tembi di Yogyakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa khususnya serta seni budaya Indonesia secara lebih luas.
Pak Swan meninggalkan seorang istri dan empat putra (satu orang sudah meninggal) serta cucu-cucu. Almarhum wafat dengan tenang dalam tidurnya, menggenapkan keinginan sendiri seperti yang sudah kerap dilontarkannya beberapa tahun terakhir, ”Saya cuma minta didoakan agar bisa meninggal dunia dengan baik. Buat apa umur panjang, tetapi meninggalnya tidak baik.”
Misa akan dilakukan di rumah duka di Jalan Media Massa Blok K.187, Kompleks PWI Cipinang Muara, Jakarta Timur, pada Senin (12/8/2019) pukul 19.00. Jenazah Polycarpus Swantoro akan disemayamkan di Sandiego Hill pada Selasa, 13 Agustus. Almarhum diberangkatkan dari rumah duka pukul 10.00.