Kedua negara mulai berseteru setelah Mahkamah Agung Korsel mewajibkan perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada pekerja paksa Korsel pada masa Perang Dunia II. Jepang tidak setuju karena kesepakatan ganti rugi telah dibuat pada 1965.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
SEOUL, SENIN - Korea Selatan akhirnya melancarkan serangan balas dendam terhadap Jepang. Jepang akan dikeluarkan dari daftar negara yang masuk dalam jalur perdagangan cepat Korsel mulai September 2019. Perang dagang antara kedua negara pun semakin memburuk.
Kebijakan ini merupakan langkah balasan setelah Jepang mengambil kebijakan serupa terlebih dulu. Jepang mengeluarkan Korsel dari daftar negara penerima pengecualian pembatasan perdagangan mulai 28 Agustus 2019.
“Kita harus tenang dalam mempertimbangkan tindakan balasan yang keras, tetapi tetap terukur. Korsel juga harus dapat menjaga hubungan yang konstruktif dengan Jepang,” kata Presiden Korsel Moon Jae-in dalam pertemuan dengan pejabat senior di Seoul, Senin (12/8/2019).
Seoul menganggap, kebijakan Jepang merupakan langkah yang tidak adil. Untuk itu, Pemerintah Korsel akan mengeluarkan Jepang dari kategori negara yang ada di jalur perdagangan cepat Korsel mulai September 2019.
Selama ini, daftar mitra perdagangan Korsel terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama merupakan 29 negara anggota dari empat perjanjian kontrol ekspor terbesar dunia, yang salah satunya adalah Jepang. Kategori kedua adalah negara di luar kategori pertama.
Menteri Perindustrian Korsel Sung Yun-mo mengatakan, sebagai gantinya, Jepang akan dimasukkan ke dalam sebuah kategori perdagangan terbatas yang baru dibuat. Hal ini karena Tokyo dinilai memberlakukan sistem kontrol ekspor yang tidak sesuai dengan prinsip kontrol ekspor internasional.
“Sulit untuk bekerja sama dengan negara yang sering melanggar aturan dasar, kami membutuhkan sistem kontrol ekspor yang menangani hal ini. Saya siap berbicara dengan para pejabat Jepang kapanpun Tokyo meminta untuk bertemu (untuk membahas kebijakan Korsel),” ujar Sung, tanpa merinci pelanggaran yang telah dilakukan Jepang.
Jepang menjadi negara pertama yang masuk ke dalam daftar ini. Sebagai akibat, dalam kategori baru ini, proses permohonan izin ekspor pelaku usaha Korsel ke Jepang menjadi lebih ketat.
Pelaku usaha harus mengumpulkan lima jenis dokumen agar dapat mengekspor komoditas sensitif ke Jepang. Proses permohonan izin dapat memakan waktu hingga 15 hari. Sedangkan negara dalam jalur perdagangan cepat cukup mengumpulkan tiga dokumen saja.
Sejauh ini, Pemerintah Jepang belum menanggapi kebijakan pembalasan Korsel. Salah satu pejabat senior Kementerian Luar Negeri Jepang menyampaikan, Tokyo akan mengkaji dampak kebijakan Korsel itu terlebih dulu. Namun, Tokyo mengharapkan tidak akan menerima dampak langsung atas kebijakan itu.
Riset dan pengembangan
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor Jepang, Korsel menganggarkan 6,48 miliar dollar AS untuk riset dan pengembangan selama 7 tahun. Anggaran akan digunakan untuk mengembangkan bahan, suku cadang, dan peralatan lokal.
"Pemerintah akan mencari strategi yang terperinci dan detail untuk lebih mengembangkan ekonomi secara substansial dengan cara membuat pembalasan ekonomi Jepang sebagai kesempatan untuk mengubah hal yang baik dari yang jahat,” tutur Moon.
Kedua negara mulai berseteru setelah Mahkamah Agung Korsel mewajibkan perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada pekerja paksa Korsel pada masa Perang Dunia II. Jepang tidak setuju karena kesepakatan ganti rugi telah dibuat pada 1965.
Hubungan diplomatik antara keduanya akhirnya semakin memanas. Jepang memperketat ekspor material untuk alat elektronik ke Korsel dan mengeluarkan “Negara Gingseng” itu dari daftar negara penerima pengecualian pembatasan perdagangan mulai 28 Agustus 2019.
Sebagai salah satu sekutu kedua negara, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengimbau agar Korsel-Jepang segera berdamai, pekan lalu. Perseteruan di Asia Timur ini dapat membahayakan kerja sama ketiga negara ini untuk mengatasi ancaman senjata nuklir Korea Utara. (Reuters/AFP/AP)