Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik menggelar Pameran Lukisan berjudul “Revolusi Fisik, Revolusi Diplomatik, Revolusi Estetik”. Pameran yang dibuka 8-31 Agustus 2019 ini menyuguhkan 12 lukisan perjuangan dan 18 sketsa karya Henk Ngantung saat proses perundingan Linggarjati.
Balai Seni Rupa Jakarta (kini Museum Seni Rupa dan Keramik) baru diresmikan Presiden Soeharto 20 Agustus 1976, namun koleksi-koleksi di dalamnya luar biasa. Museum ini menyimpan sketsa maupun lukisan yang umurnya bahkan lebih tua dari usia museum tersebut.
Melihat 23 lukisan dan 28 sketsa perjuangan koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik ibarat membuka ulang lembar-lembar buku sejarah. “Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, tak hanya hasil ‘revolusi fisik’, tempat para pelukis sambil angkat senjata melawan penjajah asing, terus lanjut aktif melukis di medan perang," kata Eddy Soetriyono, kurator pameran itu.
"Karena itu, tidak mengherankan bila mereka mampu secara estetik melukiskan sisi nyata sehari-hari perjuangan rakyat secara membumi sehingga mampu menggetarkan hati para pemirsanya bahkan hingga kini,” ujarnya.
Potret kekejaman penjajahan tergambar jelas pada lukisan Itji Tarmizi berjudul “Kerja Paksa”yang dilukisnya pada 1961. Tampak di sana masyarakat pribumi sedang bekerja keras menjalani romusha atau kerja paksa yang diwajibkan oleh Pemerintah Jepang. Raut-raut muka korban penindasan sangat kentara dengan figur orang tengah mengusap peluh, memegang sekop, dan mengangkat batu di tengah siang yang terik.
Kisah humanis
Pelukis Hendra Gunawan (1918-1983) bahkan mampu menyuguhkan kisah humanis pada masa revolusi dalam lukisan besarnya berjudul “Revolusi” yang dilukis pada 1945. Lukisan ini menggambarkan empat pejuang yang tengah beristirahat, dan dua orang di antaranya sedang membaca secarik kertas.
Hendra juga membuat lukisan berjudul “Pengantin Revolusi” pada 1956 dengan deskripsi sepasang pengantin sedang diarak iring-iringan warga dan rombongan musik Tanjidor. Lukisan ini sangat romantis karena sang pengantin wanita dengan kebaya kuning tampak diboncengkan di atas sepeda kayuh oleh pengantin pria yang mengenakan baju militer khas pejuang nasional. Dalam suasana perang pun, masyarakat dahulu tetap bisa menikmati kebahagiaan.
Saksi Perang
Museum Seni Rupa dan Keramik juga memamerkan lukisan S Sudjojono berjudul “Prambanan, yang pertama menyeberang jalan”. Lukisan itu dibuat Sudjojono pada 1968 tetapi berdasarkan sketsa yang ia buat di lokasi kejadian, Prambanan, Yogyakarta 3 Juli 1949, ketika ia tinggal di sana.
Lukisan dengan latar belakang suasana senja itu menggambarkan para pejuang yang tengah mengendap-endap membuka jalan untuk masuk ke Kota Yogyakarta. Pada saat itulah, Belanda melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II 19 Desember hingga 5 Juni 1949.
Kesaksian sejarah juga digoreskan Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965, Henk Ngantung dalam sketsa-sketsanya ketika detik-detik perjanjian Linggarjati di Jawa Barat 10 November 1946 hingga ditandatangani di Paleis Rijswijk (Istana Negara), Jalan Veteran, Jakarta, 25 Maret 1947.
Sketsa-sketsanya sangat detail, mulai dari detik-detik upacara penandatanganan, Perdana Menteri Sutan Sjahrir menandatangani naskah perjanjian, Presiden Soekarno dan Prof Schermerhorn berbincang, Bung Hatta duduk berdampingan dengan Van Mook, wartawan-wartawan asing mengetik di tangga penginapan Perdana Menter Sjahrir, hingga suasana sesudah upacara penandatanganan.
Kisah-kisah perjuangan di medan peperangan dilukiskan dalam berbagai macam cara dan sudut pandang para perupa. Beberapa karya lain yang dipamerkan, meliputi lukisan “Perjuangan” karya Sudjana Kerton, “Berjuang’ karya Djoni Trisno, “Gerilya“ karya Nasyah Jamin, “Menghadang Konvoi” karya Sapto Hudoyo, “Tarian Serdadu” karya Sri Warso Wahono, dan “Rapat IKADA” karya Otto Djaja.
Seperti di Museum Seni Rupa dan Keramik, sepanjang Agustus ini, Galeri Nasional Indonesia juga menggelar Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2 bertajuk ”Lini Transisi”. Sebanyak 50 karya seni rupa yang diciptakan 40 seniman Indonesia antara tahun 1950 dan 1980 menjadi pintu baru bagi para penikmat seni melihat proses panjang transisi Republik ini.
“Periode 1950-1980 adalah masa penting awal mula sejarah Republik Indonesia berkembang. Metamorfosis bangsa ini terlihat dalam karya-karya para perupa,” kata Suwarno Wisetrotomo, kurator Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2.
Di Galeri Nasional Indonesia, publik kembali bisa menyaksikan karya-karya Sudjojono dan Hendra Gunawan. Lukisan Sudjojono ”Ada Orkes” (1970), misalnya, menggambarkan pandangan kritisnya pada satu lapis sosial serta pengalamannya menjalani revolusi fisik. Sementara Hendra dengan seni kerakyatannya memotret realitas rakyat Indonesia di masa awal kemerdekaan seperti tercitra di lukisannya ”Jualan di Bawah Pohon Beringin” (1950).
Pada akhirnya, kesetiaan para perupa dalam melukis di tengah perjuangan revolusi fisik bukan sekedar mewujud dalam karya-karya estetika, tetapi telah menjadi catatan dokumentasi sejarah. Sekarang, para perupa besar itu sebagian besar telah berpulang. Meski demikian, karya-karyanya tetap lantang berbicara melintasi zaman.