Pekan lalu, tepatnya Kamis, 8 Agustus, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) berulang tahun ke-52. Ulang tahun itu dirayakan dengan peresmian gedung baru Sekretariat ASEAN di Jakarta oleh Presiden Joko Widodo. ”Terima kasih, Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai, yang hadir di acara itu.
Secara kelembagaan, Sekretariat ASEAN dibentuk pada Februari 1976 oleh para menlu ASEAN. Saat itu, ASEAN masih beranggotakan lima negara pendirinya: Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina. Kantornya pun masih bertempat di gedung Departemen Luar Negeri RI.
Sekretariat ASEAN bertempat di gedung saat ini pada 1981. Diharapkan, dengan diresmikannya gedung baru ini, sebagian besar dari pertemuan-pertemuan tingkat ASEAN yang per tahun lebih dari 1.000 pertemuan itu bisa digelar di gedung baru itu. Hal ini, kata Menlu Don, tak hanya akan memperkuat sentralitas ASEAN, tetapi juga mendorong rasa memiliki identitas ASEAN.
Menlu Retno LP Marsudi menyebut gedung baru sekretariat itu kontribusi Indonesia secara fisik pada ASEAN. Kontribusi Indonesia dalam memberi napas dan gerak ASEAN tak diragukan lagi. Pengamat internasional dan mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani dan Jeffery Sng, dalam buku Keajaiban ASEAN, bahkan menyebut Indonesia sebagai ”pilihan yang logis” menjadi pengawal ASEAN.
Dalam konteks itu, menjadi relevan membahas kontribusi Indonesia pada ASEAN dalam mendorong pandangan Indo-Pasifik menjadi panduan ASEAN. Visi Indo-Pasifik pernah dilontarkan Menlu Marty Natalegawa di Washington DC, AS, Mei 2013. Di era Presiden Joko Widodo, pandangan itu digodok dan terus digulirkan selama hampir 1,5 tahun di berbagai forum sejak Januari 2018.
Tahun lalu, saat ASEAN diketuai Singapura, pandangan Indo-Pasifik itu hanya sekadar ”dicatat” dalam Komunike Bersama Pertemuan Menlu ASEAN, Agustus 2018. Retno mengibaratkan momentum itu dengan ungkapan ”bola telah menggelinding”. Tahun ini, saat keketuaan ASEAN beralih ke Thailand, pandangan Indo-Pasifik itu diadopsi ASEAN dalam konferensi tingkat tinggi (KTT), 22 Juni lalu.
Dan belum lama ini, untuk pertama kalinya pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik itu dibahas pada pertemuan menlu ASEAN, termasuk pada East Asia Summit (EAS) dan Forum Regional ASEAN (ARF). Forum itu diikuti negara-negara mitra ASEAN dan kekuatan dunia, seperti AS, China, India, Rusia, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.
Indo-Pasifik ASEAN ini dibuat untuk merespons… dinamika-dinamika yang ada di wilayah Indo-Pasifik yang cukup mengkhawatirkan.
”Indo-Pasifik ASEAN ini dibuat untuk merespons… dinamika-dinamika yang ada di wilayah Indo-Pasifik yang cukup mengkhawatirkan,” kata Retno. Kata ”dinamika” adalah istilah khas di kalangan diplomat, yang antara lain kerap merujuk pada situasi ketegangan. Pandangan Indo-Pasifik adalah salah satu kontribusi Indonesia dalam meredam ketegangan tersebut.
Dalam forum EAS, sebelum sebelum pertemuan dimulai, Menlu AS Mike Pompeo tergopoh bangkit dari kursinya. Ia berjalan menghampiri Retno yang duduk di seberang meja. ”Ada undangan dari Presiden (Donald) Trump kepada Presiden Joko Widodo… ’Retno, kita terus ya komunikasi untuk menentukan tanggal yang tepat kapan Presiden Widodo dapat berkunjung ke Amerika Serikat?’” cerita Retno tentang pembicaraannya dengan Pompeo.
Tak bisa dimungkiri, diadopsinya pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik telah mengangkat pengaruh diplomatik Indonesia. Setahun lalu, entah bercanda atau serius, di ajang menlu ASEAN juga, Menlu China Wang Yi memberikan julukan kepada Retno, yakni ”Miss Indo-Pacific”.
Menarik untuk ditunggu, mampukah pandangan Indo-Pasifik ASEAN itu meredam ketegangan kekuatan-kekuatan besar di kawasan? Menarik juga dilihat, apakah setelah sukses mengegolkan pandangan Indo-Pasifik di ASEAN, Indonesia pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan lebih melihat ke luar dalam orientasi dan kebijakan luar negerinya?