“Siswa-siswa tertarik dan menghampiri orang itu. Saya justru tidak tertarik,” ujar laki-laki yang akrab disapa Kimung itu di tengah kesibukannya menyelenggarakan festival Karinding’s Day Out di Bandung, Minggu (21/7/2019).
Lima tahun kemudian, Kimung mendengar kisah kepunahan karinding, sebagai salah satu alat musik lokal dari rekan-rekannya. Penasaran, ia lantas berselancar di media sosial. Lewat jaringan musik metal yang digelutinya, lulusan Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, ini juga mencari informasi tentang pemain karinding di Jabar. Hasilnya, pemainnya semakin sedikit. Karinding rentan dilupakan dan digilas zaman.
"Dari jaringan anak-anak metal, saya lantas menemui Abah Olot, perajin karinding asal Parakanmuncang, Sumedang. Di sana, diberi karinding. Namun, hati ini lalu semakin bertanya, kalau sudah punah, mengapa saat itu saya menerima karinding? Ada masalah yang membuatnya terancam punah?” ujarnya.
Tak ingin sekadar berwacana, ia lantas ikut mendirikan kelompok musik Karinding Attack pada 2009. Grup ini kerap mengawinkan karinding dengan ragam musik lainnya. Perjalanan bersama Karinding Attack memperkaya pengalaman bermusiknya. Mulai dari konser di Bandung hingga tur Eropa ke sejumlah negara, seperti Jerman, Belanda, dan Perancis pada 2017.
Tak hanya di atas panggung, minat literasinya juga seperti terbakar melestarikan Karinding. Kimung mengajukan penelitian tentang sejarah karinding Priangan saat mengikuti program Rujak Foundation pada 2015.
Dana sekitar Rp 97 juta dari program itu digunakan untuk menggali informasi tentang karinding. Dengan menggunakan sepeda motor, dia bersama seorang rekannya berkeliling Jabar. Mereka menemui pemain dan perajin karinding di Bandung, Karawang, Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, dan Garut.
Perjalanan itu semakin membuka matanya. Kimung menyadari, karinding bukan sebatas alat musik. Dalam bentuk dan suaranya, karinding juga mengandung filosofi untuk mengelola ruang kehidupan.
Menurut mantan pemain bas Burgerkill, band metal tenar asal Bandung, karinding berevolusi peran dalam masyarakat. Saat anak-anak, karinding dijadikan kaulinan (permainan), selanjutnya menjadi alat musik pergaulan saat remaja dan dewasa.
Karinding juga menjadi alat musik pertanian saat bercocok tanam. Namun, tak terkendalinya alih fungsi lahan membuat lahan pertanian semakin menyusut. Imbasnya, semakin sedikit orang yang memainkan karinding karena kegiatan bercocok tanam juga berkurang.
Hal ini menjadi salah satu ancaman kepunahan karinding karena kian jarang dimainkan. Jadi, untuk melestarikannya, karinding tak lagi hanya digunakan sebagai alat musik pertanian, melainkan lebih universal.
Makna filosofi
Meskipun panjangnya hanya sekitar 10-15 sentimeter dan tebal 2-3 milimeter, karinding merangkum banyak nilai. Satu di antaranya adalah makna tiga bagian karinding yang dibatasi oleh ruas.
Bagian pertama disebut pancepengan, bagian untuk memegang karinding. Tidak selalu harus erat, namun nyaman dan mantap. Artinya, seseorang harus yakin terlebih dahulu dengan sesuatu yang sedang dia pegang atau kerjakan.
Bagian kedua adalah cecet ucing. Ini adalah bambu tipis di bagian tengah. Bilah bambu itu akan bergetar dan berbunyi saat bagian ketiga, yaitu paneunggeulan, ditabuh. Tak perlu tergesa-gesa menabuhnya. Tidak terlalu keras atau terlalu pelan. Perlu dijiwai untuk menemukan keseimbangan irama.
“Dibutuhkan kesabaran dalam menabuh karinding agar suara yang dihasilkan semantap keyakinan yang ia pegang,” ujarnya.
Kimung mengatakan, banyak orang beranggapan karinding alat pengusir hama. Menurut dia, anggapan itu tak sepenuhnya tepat. Karinding justru efektif menjadi alat berkomunikasi manusia dengan makhluk lainnya. Saat karinding dimainkan, itu sebagai tanda manusia sedang menanam sampai dipanen.
Menurut Kimung, hal itu menguatkan filosofi karinding terkait keseimbangan alam. Artinya selain manusia, ada makhluk hidup lain yang membutuhkan alam. Jadi, dibutuhkan komunikasi untuk berbagi waktu dalam memanfaatkan alam.
Tidak hanya itu, Karinding juga berkaitan dengan pembagian zona pemanfaatan gunung. Dalam masyarakat Sunda dikenal leuweung larangan (hutan terlarang), leuweung tutupan (hutan reboisasi), dan leuweung baladahan (lahan pertanian).
“Pembagiannya mesti dikelola dengan bijak. Jika leuweung baladahan dan leuweung tutupan mencaplok leuweung larangan, akan terjadi bencana,” ujarnya.
Menurut Kimung, filosofi karinding itu sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun, dia menyadari, tidak semua orang mudah memahami filosofi itu. Oleh sebab itu, diperlukan musik untuk memancing ketertarikan terhadap karinding. Apalagi, suara dari getar dan dengung karinding dapat dikombinasikan dengan beragam jenis musik.
Dalam festival Karinding’s Day Out, suara karinding harmoni bersanding dengan musik balada kontemporer, pop, metal, dan lainnya. Suaranya tidak tenggelam “dimakan” alat musik lainnya, seperti gitar, gendang, kecapi, dan celempung.
“Untuk melestarikannya, karinding harus dimainkan. Musik menjadi media agar karinding semakin dikenal, terutama bagi anak muda,” ujar Kimung.
Omongan Kimung terbukti. Pemain karinding di festival itu didominasi anak muda dengan usia di bawah 30 tahun.
Satu di antaranya, Aldi Renaldi (22), personel band Sukmaraksa. Dia mulai jatuh cinta bermain karinding sejak enam tahun lalu. Saat itu, rekan-rekan kakaknya datang ke rumah untuk berlatih bermusik menggunakan karinding. Sementara, Aldi pergi ke studio untuk ngejam dengan teman sebandnya.
”Waktu itu kepikiran, kok saya suka memainkan musik dari luar tetapi musik asal daerah sendiri enggak diseriusi,” ujarnya.
Aldi mengakui karinding masih kalah populer dengan alat-alat musik modern. Bahkan, tak jarang yang menganggap musik karinding kuno karena banyak dimainkan orang tua di kampung.
Menurut Kimung, selain lewat musik, referensi tertulis juga tak kalah penting dalam mewariskan filosofi karinding. Oleh sebab itu, dia menulis buku Sejarah Karinding Priangan yang diluncurkan bersamaan dengan festival itu.
Buku yang terdiri dari 979 halaman itu dibagi dalam 23 bab. Selain berkisah tentang sejarah, buku itu juga menggali cerita penggunaan karinding di 16 kabupaten/kota di Jabar serta Banten dan Jakarta. Butuh 11 tahun untuk merampungkan buku itu dimulai dari riset independen pada 2008.
Berawal dari rasa penasaran 16 tahun lalu, Kimung semakin memahami musik dan filosofi karinding yang dituangkan dalam karyanya. Dia menolak untuk berhenti berkarya. Sebab, sejarah karinding mesti terus ditabuh agar suaranya semakin nyaring pada generasi kini.
Iman Rahman Anggawira Kusumah
Lahir: Bandung, 28 Februari 1978
Pendidikan: Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran
Beberapa karya buku:
1. Myself: Scumbang, Beyond Life and Death (2007)
2. Memoar Melawan Lupa (2011)
3. Jurnal Karat: Karinding Attack-Ujungberung Rebels (2011)
4. Ujungberung Rebels: Panceg Dina Galur (2013)
5. Sejarah Karinding Priangan (2019)