Berada di tepian Pantai Sanur, dengan luasan hotel mencapai 42 hektar—termasuk di dalamnya pantai sepanjang 1 kilometer yang dikelola hotel—Grand Inna Bali Beach Hotel merupakan salah satu hotel termegah di Bali. Hotel itu memiliki total 611 kamar yang terbagi dalam tiga kluster, yakni 300 kamar di Hotel Grand Inna Bali Beach, 200 kamar di Garden Wing yang merupakan pengembangan hotel, dan 111 kamar bertipe pondok atau ”cottage”.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
Hotel Grand Inna Bali Beach yang menjadi tempat penyelenggaraan Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali, 8-10 Agustus 2019, menyimpan ikatan sejarah yang erat dengan Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Hotel itu bahkan memiliki sebuah ruangan khusus yang dipercayai sebagai kamar yang pernah ditempati Bung Karno.
Berada di tepian Pantai Sanur, dengan luasan hotel mencapai 42 hektar—termasuk di dalamnya pantai sepanjang 1 kilometer yang dikelola hotel—Grand Inna Bali Beach Hotel merupakan salah satu hotel termegah di Bali. Hotel itu memiliki total 611 kamar yang terbagi dalam tiga kluster, yakni 300 kamar di Hotel Grand Inna Bali Beach, 200 kamar di Garden Wing yang merupakan pengembangan hotel, dan 111 kamar bertipe pondok atau cottage.
Ikatan historis hotel itu dengan Bung Karno bermula dari proyek nasionalisasi gedung dan bangunan pampasan perang sejak dari era kolonial Belanda hingga Jepang. General Manager Grand Inna Bali Beach Hotel IGK Ayu Ariani mengatakan, dokumen sejarah terkait hotel itu terbatas karena sebagian ikut terbakar tahun 1993. Namun, gedung pampasan perang itu diketahui mulai dibangun hotel tahun 1963.
”Menurut sejarahnya, Bung Karno yang membangun hotel ini. Saat itu belum ada hotel, dan pembangunan hotel di sini adalah yang pertama,” kata Ariani, Sabtu (10/8/2019).
Tahun 1960-an, Bali masih belum banyak terekspos pelancong dari berbagai negara. Gambaran tentang suatu pulau di mana mata bisa memandang matahari terbit di batas cakrawala masih menjadi imaji. Debur Pantai Sanur masih menjadi semata-mata kekayaan Bali, belum lagi dikenal oleh dunia seperti saat ini.
Pembangunan Hotel Bali Beach salah satunya yang menandai industri pariwisata di Bali yang lebih terbuka untuk dunia. Pada 1 November 1966, hotel itu diresmikan Sultan Hamengku Buwono IX. Hotel itu pun dikenal oleh turis baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Pembangunan Hotel Bali Beach salah satunya yang menandai industri pariwisata di Bali yang lebih terbuka untuk dunia. Pada 1 November 1966, hotel itu diresmikan Sultan Hamengku Buwono IX. Hotel itu pun dikenal oleh turis baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Peranan Bung Karno dalam pendirian hotel dan nasionalisasi gedung pampasan perang yang menjadi cikal-bakal hotel itu tak dilupakan masyarakat Bali. Bahkan, ketika hotel itu terbakar habis, tahun 1993, kenangan akan Soekarno itu makin menguat.
Dalam kebakaran hebat itu hanya ada satu kamar yang relatif utuh, dan hanya sedikit terdampak api. Kamar nomor 327 di lantai 3 itu hanya rusak di bagian kaca pintu teras belakang yang menghadap pantai. Tirai jendelanya yang berwarna putih hanya sedikit terbakar kendati kaca pecah. Adapun seprai putih dan dua ranjang di kamar itu tak tersentuh api. Kertas pelapis dinding memang sebagian rusak, mengelupas dan menghitam karena bara api, tetapi barang-barang di kamar itu relatif masih utuh. Demikian pula mebel kursi dari rotan yang hanya terbakar di bagian busanya, sedangkan rangkanya masih utuh.
”Jadi memang hanya kamar itu yang selamat dari kebakaran hebat. Mendengarkan masukan dari berbagai pihak, kami merawat kamar itu. Kamar itu tidak kami jual, tetapi kami perlakukan khusus sebagai kamar suci,” kata Ariani.
Dipertahankan
Adat Bali yang menghargai alam dan budaya meniscayakan kepercayaan pada kekuatan Dewata yang memungkinkan kamar itu selamat dari api. Kamar itu pun dirawat dan dibiarkan sebagaimana adanya. Tirai jendela yang terbakar tetap dipasang sebagaimana mulanya. Dua ranjang dengan seprai putih yang masih asli dibiarkan pada tempatnya, dan dibersihkan setiap hari. Mebel lainnya di dalam kamar itu pun masih sama seperti terakhir kali terbakar tahun 1993.
Satu set meja dan radio di dalamnya utuh, tidak tersentuh api. Begitu pula kaca yang menempel di dinding kamar tidak pecah kendati noda hitam bekas bara api jadi penanda. Lubang angin di atas yang menghitam bekas kebakaran pun hingga saat ini dibiarkan apa adanya, dan masih beroperasi dengan baik.
Satu-satunya hal yang membedakan ialah adanya sajian makanan kecil dan minuman sebagai sesajen yang merupakan bentuk penghormatan kepada Dewata. Sesajen itu diletakkan di atas meja bundar, dan tiga kali dalam sehari diganti.
”Sejak awal saya bekerja di sini (hotel), dan saya yang sekarang dipercaya merawat kamar ini,” kata Anak Agung Okawati (73).
Di usia yang tak lagi muda, Okawati yang penuh semangat setiap hari merawat dan membersihkan kamar itu. Ia pula yang menyajikan sesajen di kamar itu, sekaligus menata ornamen-ornamen di dalamnya.
Public Relations Manager Hotel Grand Inna Bali Beach Ida Ayu Dewi Apriyanti mengatakan, kamar suci itu dirawat khusus oleh pegawai yang memang diberi tugas membersihkan kamar tersebut. Pengunjung yang ingin masuk melihat kamar itu harus mendapatkan izin pengurus hotel. Siapa pun tamu yang berkunjung harus melepas alas kakinya sebelum memasuki kamar, dan mereka dilarang memotret.
Sarana refleksi
Foto Soekarno dan keluarganya, maupun foto diri Soekarno ketika berpidato, yang terpampang di dinding kamar itu merupakan pemberian pengunjung. Mereka memercayai kamar itu pernah ditempati Bung Karno. Pihak hotel memfasilitasi hal itu dengan menyimpan pernak-pernik Bung Karno di kamar 327. Dua lukisan Bali lainnya di kamar itu adalah lukisan asli di kamar itu sejak sebelum kebakaran. Begitu pula dengan lampu tidur dan telepon.
”Hanya bagi mereka yang percaya, kamar tersebut diyakini pernah ditempati Bung Karno. Tetapi, kami sendiri tidak bisa memastikan apakah Bung Karno memang pernah tinggal di situ. Sebagian catatan sejarah hotel ikut terbakar pada peristiwa 1993,” kata Ariani.
Sesajen aneka rupa dan bau dupa menyambut saat memasuki ruangan itu. Dari jendela yang ditutupi tirai bekas terbakar, Pantai Sanur terlihat. Angin pantai menyergap ketika jendela dibuka. Lansekap matahari terbit niscaya terlihat dari kamar itu.
Sesajen aneka rupa dan bau dupa menyambut saat memasuki ruangan itu. Dari jendela yang ditutupi tirai bekas terbakar, Pantai Sanur terlihat.
Kitab suci dari lima agama ditumpuk di meja set radio, di bawahnya dua sajadah terlipat, dan di teras kamar terdapat sebuah patung Buddha yang diletakkan di sudut. Kayu salib diselipkan di antara kitab suci.
Saat Natal, ornamen kristiani, seperti pohon Natal, dipasang di kamar lengkap dengan kelap-kelip lampunya. Setiap Kamis malam, menjelang Jumat, sajadah digelar di dalam kamar untuk menghormati waktu Shalat Jumat.
”Sebagai holy room, kami mengkhususkannya bagi sarana refleksi dan penghargaan kepada setiap iman,” kata Dewi.
Kamar kecil yang disucikan dan dipercayai sebagai ”Kamar Bung Karno” itu setidaknya menjadi simbol bagi cita-cita pendiri bangsa yang menyerukan teguhnya persatuan dalam kemajemukan. Kamar itu laksana oase bagi anak bangsa yang sepi merindukan harmoni antara iman, keagungan alam, sekaligus keindahan budaya….