Pertumbuhan Industri Manufaktur Terhambat Gejolak Ekonomi Global
Gejolak ekonomi dunia akibat perang dagang menyebabkan investasi di Indonesia melambat. Perlambatan investasi itu berdampak pada terhambatnya perkembangan industri manufaktur.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gejolak ekonomi dunia akibat perang dagang menyebabkan investasi di Indonesia melambat. Perlambatan investasi itu berdampak pada terhambatnya perkembangan industri manufaktur. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah cepat untuk mengantisipasi gejolak tersebut.
Pada triwulan II-2019, kinerja investasi dari dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) hanya 5,01 persen. Kinerja itu melambat dari periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 5,85 persen.
”Memang tumbuh 5,01 persen, tetapi investasi swasta hanya tumbuh 3,07 persen. Padahal, investasi swasta nonbangunan pernah berjaya sebelumnya dengan pertumbuhan 7-8 persen,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo, Senin (12/8/2019), di Jakarta.
Penurunan investasi itu merupakan dampak ketidakpastian pasar global. Perang dagang Amerika Serikat dengan China membuat ekonomi global lesu. Hal itu ditandai dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia.
”Persoalan global itu berdampak pada rendahnya permintaan produksi untuk ekspor. Itu dialami banyak negara. Ekspor melambat, permintaan produksi berkurang, otomatis investasi berkurang,” jelas Dody.
Menurut Dody, gangguan dari ekonomi dunia membuat industri manufaktur tidak bisa maksimal berkembang. Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan langkah strategis untuk mendorong industri dengan mempercepat dan mempermudah masuknya investasi.
Dari sisi kebijakan moneter, BI akan kembali menurunkan suku bunga acuan BI 7-day Repo Rate. Sementara BI baru saja menurunkan suku bunga pada akhir Juli sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen.
”Kami akan menurunkan lagi ke depannya. Seperti kata Gubernur (BI), ini hanya tinggal timing. Kami masih melihat risiko ke depannya dari perspektif pasar global dan bagaimana perang dagang akan berlanjut,” kata Dody.
Dari sisi kebijakan moneter, BI akan kembali menurunkan suku bunga acuan BI 7-day Repo Rate.
Dody menambahkan, BI juga bersiap merelaksasi kebijakan makroprudensial untuk mendorong produksi dan ekspor sektor prioritas seperti manufaktur. Selain itu, BI juga akan memudahkan sistem pembayaran dalam mendukung efisiensi ekonomi digital seperti teknologi finansial.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, pertumbuhan sektor manufaktur melambat pada triwulan II-2019 sebesar 3,5 persen. Industri manufaktur memang bertumbuh, tetapi lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 3,8 persen.
Pertumbuhan sektor manufaktur merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi. Industri itu juga berperan penting meningkatkan lapangan kerja di Indonesia.
Pertumbuhan sektor manufaktur merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi. Industri itu juga berperan penting meningkatkan lapangan kerja di Indonesia.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi menjelaskan, saat ini sektor manufaktur baru berkontribusi 19,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah itu masih tertinggal dengan Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan China yang kontribusi manufakturnya terhadap PDB lebih dari 20 persen.
Kementerian Perindustrian telah mengambil langkah strategis untuk memaksimalkan manufaktur di era digital saat ini. Pemerintah akan fokus meningkatkan produktivitas dan daya saing pada lima industri prioritas.
”Kelima industri itu adalah industri makanan dan minuman, industri otomotif, industri elektronik, industri kimia, serta industri tekstil dan produk tekstil,” ujarnya.
Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Kemaritiman Kementerian Koordinator Perekonomian Raden Edi Prio Pambudi menyatakan, perlu pembenahan total untuk meningkatkan industri manufaktur. Beberapa di antaranya perbaikan iklim investasi dan perbaikan sumber daya manusia.
”Industri saat ini belum berorientasi pada ekspor, masih memenuhi domestik. Karena itu, kita kesulitan membangun pasar yang besar. Masalah lainnya adalah biaya logistik yang mahal. Industri terlalu bergantung pada Pulau Jawa,” kata Edi.