Jumlah caleg muda DPR terpilih pada Pemilu 2019 turun cukup signifikan dibandingkan Pemilu 2014. Afirmasi pada politisi muda perlu dipertimbangkan untuk mempercepat regenerasi.
JAKARTA, KOMPAS Semakin turunnya jumlah figur muda yang terpilih sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui Pemilu 2019 menjadi salah satu indikasi adanya persoalan dalam proses regenerasi politik di Indonesia. Apabila tidak serius diatasi, akan terjadi kesenjangan generasi antara politisi yang menentukan kebijakan dengan anak-anak muda yang mulai makin berperan di berbagai sektor di tengah makin pesatnya transformasi digital.
Berdasarkan kajian Litbang Kompas, jumlah caleg muda berusia 40 tahun ke bawah yang lolos ke DPR periode 2019- 2024 turun dibandingkan pada periode 2014-2019. Kajian ini sudah memperhitungkan putusan Mahkamah Konstitusi atas perselisihan hasil pemilu, khususnya DPR pada 6-9 Agustus 2019.
Hanya 72 orang dari 575 anggota DPR atau 12,5 persen tergolong muda. Persentase ini turun dibandingkan pada periode 2014-2019 yang mencapai 92 orang dari 560 anggota DPR atau 16,4 persen. Selain itu, dari 72 caleg muda terpilih pada periode 2019-2024, sebanyak 50 persen diduga merupakan bagian dari politik kekerabatan. Sebanyak 36 caleg dari 72 caleg muda itu diduga mempunyai relasi kekerabatan dengan elite politik di daerah ataupun nasional, baik anak, istri, menantu, maupun cucu.
Penurunan caleg muda terpilih ini terjadi saat jumlah caleg muda yang berkontestasi di Pemilu 2019 tidak jauh berbeda dari Pemilu 2014. Sebanyak 28 persen dari 5.052 caleg DPR di Pemilu 2019 yang bersedia membuka data pribadinya berusia 40 tahun ke bawah.
Selain itu, proporsi kelompok penduduk berusia muda semakin signifikan. Berdasarkan data BPS tahun 2018, sekitar 40 persen dari 265 juta penduduk Indonesia berada di kelompok usia 15-39 tahun.
Hillary Brigitta Lasut (23), caleg terpilih dari Partai Nasdem, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (11/8/2019), mengatakan, peluang caleg muda maju di pileg sebenarnya terbuka. Namun, dinamika kontestasi yang tak mudah membuat banyak caleg muda berguguran jika tidak mempunyai finansial atau jaringan yang kuat di daerah. Karena itu, sebagian caleg muda yang lolos memiliki privilese lebih, seperti anak pengusaha, anak kepala daerah, atau anak elite partai. Hillary merupakan putri Bupati (terpilih) Talaud Elly Lasut.
”Jadi, persoalannya bukan pada kualitas anak-anak muda, karena yang kemarin bertarung itu bukan anak-anak muda sembarangan. Namun, ada masalah di sistem politik kita. Sistem yang ada membuat anak- anak muda sulit mendapat tempat meski peluangnya sebenarnya ada,” katanya.
Selain itu, menurut anggota DPR dari Fraksi Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono (40), syarat utama caleg muda bisa menembus Senayan yaitu pendekatan dan komunikasi ke masyarakat akar rumput.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Renanda Bachtar menuturkan, partai telah membuka ruang yang luas bagi kader-kader muda untuk maju sebagai caleg DPR. Namun, ada banyak faktor yang melatarbelakangi penurunan jumlah anggota DPR muda, di antaranya kontestasi Pemilu 2019 yang sengit dengan isu bernuansa SARA yang menjadi kendala caleg muda di daerah tertentu. Selain itu, politik uang yang masif membuat caleg-caleg muda yang minim modal tidak bisa bersaing dengan caleg petahana.
Tidak disiapkan
Direktur Riset Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Wija Wijayanto menilai, turunnya jumlah caleg muda terpilih di tengah banyaknya caleg muda menunjukkan partai politik tak menyiapkan mereka dengan baik. Alih-alih menyiapkan regenerasi dan kaderisasi dengan baik, parpol justru memunculkan politik kekerabatan.
Terkait itu, Guru Besar Riset Politik LIPI Lili Romli mengatakan, parpol seharusnya menerapkan afirmasi atau memberi ”perlindungan” kepada para politisi muda yang berkemampuan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi nomor urut atas kepada mereka. Kendati pemilu menerapkan sistem proporsional daftar terbuka, nomor urut tetap berpengaruh terhadap preferensi pemilih.
Bentuk proteksi lain yang bisa diterapkan, tak menempatkan mereka di daerah pemilihan dengan tingkat kontestasi yang ”keras”. Selain itu, caleg muda perlu dituntun partai, tak dilepaskan di tengah kontestasi yang makin ketat. Di Pemilu 2019, kontestasi kian keras karena jumlah partai bertambah dibandingkan di Pemilu 2014. Selain itu, juga ada kenaikan ambang batas parlemen 0,5 persen dari pemilu terdahulu.
”Regenerasi (lambat) berbahaya sekali. Nanti akan diisi orang-orang tua saja. Tidak ada penyegaran ide. Padahal, sekarang sudah masuk Revolusi Industri 4.0. Generasi muda punya kemampuan menghadapi tantangan itu. Kalau parlemen diisi politisi ’tua’, bisa terjadi gap,” kata Lili Romli.
Di era transformasi digital, menurut pegiat Internet Sehat-ICT Watch, Donny BU, pemimpin harus memiliki kompetensi digital, kemampuan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan, dan kemampuan berpikir kritis dengan berbasiskan data atau bukti. (AGE/SAN/INK/EDN/GAL)