NI (17) masih anak-anak ketika tertangkap membawa sembilan kilogram ganja dari Aceh Utara ke Medan, Sumatera Utara, tahun 2017. Ia divonis hukuman lima tahun penjara. Di malam naas itu ia menumpang bus. Ganja ada di dalam tas. Di tengah perjalanan, bus dihentikan polisi. Malam itu menjadi malam paling menakutkan dalam hidupnya.
“Saya diajak kawan menjual ganja. Katanya uangnya banyak. Barang ambil dari kawan. Baru sekali bawa, kena tangkap,” tuturnya, Selasa (23/7/2019). Setelah divonis, NI ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Banda Aceh. Di LPKA, ia melanjutkan pendidikan paket C, setara SMA. NI mengaku menyesal. Ia pun berjanji, tidak akan lagi menyentuh narkoba. “Keluar dari sini saya mau kuliah. Mau membahagiakan orangtua,” kata NI.
Di Aceh Timur, S (37) juga mendekam di balik jeruji. Dia ditangkap polisi karena menggunakan sabu dan dihukum setahun penjara.
Hal paling ditangisi adalah berpisah dari istri dan anaknya yang berusia 7 tahun. Tiap hari mereka datang mengantar nasi dan pakaian. Anaknya menangis setiap jam kunjung berakhir.
Kisah M (28) lebih tragis. Warga Aceh Utara ini berangkat ke Malaysia untuk bekerja. Terjepit karena tak kunjung dapat kerja, M menjadi pengedar narkoba. “Ternyata mudah sekali dapat uang. Tapi uangnya habis entah kemana,” ujarnya, pertengahan Juni lalu.
M beberapa kali ditangkap aparat keamanan dan pernah terlibat perkelahian dengan mafia lain. Awal 2019, dia kembali ke kampung halaman. Kesehatan fisik dan mentalnya merosot. Emosinya tidak stabil. Beberapa kali dia berkelahi dengan pemuda kampung.
Pengguna meningkat
Survei Badan Narkotika Nasional (BNN) Indonesia bekerja sama dengan Universitas Indonesia pada 2014 menunjukkan, penyalahguna narkoba di Aceh 73.201 orang. Sepanjang 2014-2018, yang menjalani rehabilitasi 1.350 orang. Artinya, ada 71.851 pengguna zat adiktif di Aceh belum direhabilitasi.
Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Aceh Sayuti mengatakan, lembaga rehab yang ada tidak mampu menampung semua pengguna. “Kita (Aceh) butuh balai rehabilitasi dengan kapasitas lebih besar,” kata Sayuti.
BNN hanya memiliki klinik rehab rawat jalan. Di Aceh ada 13 rumah rehab rawat inap. Satu di antaranya milik pemerintah provinsi. Daya tampung saat ini 20-40 orang setiap rumah rehab.
Jika hanya mengandalkan rumah rehab yang ada, butuh waktu puluhan tahun untuk merehab semua pengguna. Padahal, setiap tahun pengguna baru bermunculan. Di Aceh ada 6.500 desa. Jika dibagi rata, setiap desa ada 11 orang pengguna narkoba.
Sayuti khawatir jika para pengguna tidak direhab, terutama generasi muda, masa depan provinsi itu suram. Angka pengguna narkoba di Aceh ibarat fenomena gunung es, yang muncul hanya ujungnya. Sementara pengguna yang tidak terdeteksi jauh lebih banyak.
Pintu masuk
Ganja Aceh banyak diselundupkan ke provinsi lain di Indonesia. Dalam banyak kasus yang ditangani polisi dan BNN, narkoba diangkut dari Aceh. Untuk narkoba jenis sabu, Aceh menjadi terminal transit. Adapun untuk ganja, Aceh adalah penghasil.
Pada 5 Mei 2019, BNN menangkap truk yang mengangkut 300 kilogram ganja dari Aceh ke Depok, Jawa Barat. Polresta Banda Aceh pada 22 Mei lalu menggagalkan penyelundupan ganja 1 ton. Kepala Bidang Penindakan BNN Aceh Amanto menuturkan, sabu yang masuk ke Aceh berasal dari Malaysia, sedangkan ganja merupakan produk daerah. Sepanjang 2017-Juni 2019, BNN Aceh menyita 2,47 ton sabu.
Baru-baru ini, aparat Kepolisian Daerah Aceh membongkar tempat pembuatan ekstasi di Aceh Utara. Sebanyak 2.000 butir ekstasi disita dan satu tersangka ditahan. Amanto mengatakan, tidak mudah membongkar sindikat narkoba hingga ke bandar. Pemain lapangan tidak tahu jaringan ke atasnya. Antarkurir mengaku tak saling mengenal.
Menurut Amanto, beberapa bandar mengendalikan bisnis haram dari balik jeruji besi. Ironi lain, sindikat narkoba itu melibatkan anggota keluarga. Seperti kasus yang diungkap BNN di Aceh Utara. Pelakunya adalah orangtua, anak, dan menantu. Pengendalinya di dalam penjara.
Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah dalam banyak kesempatan selalu mengatakan, Pemprov Aceh serius memerangi penyalahgunaan narkoba. Dia mendukung hukuman mati untuk para bandar narkoba.
Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Faisal Ali menuturkan ulama telah mengeluarkan fatwa, mengonsumsi narkoba dan memperjual belikan adalah haram. Meski demikian, arus masuk narkoba tetap deras. Bahkan tak hanya transit, makin banyak narkoba dipakai warga Aceh.
(ZULKARNAINI)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.