Diapresiasi, Film Indonesia Tembus Festival Locarno
Sejumlah pihak mengapresiasi film The Science of Fictions dari Indonesia yang berhasil menembus kompetisi utama Festival Film Locarno di Swiss. Setidaknya dalam satu dekade terakhir, belum ada film Indonesia yang maju hingga tahap tersebut.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·2 menit baca
LOCARNO, KOMPAS — Sejumlah pihak mengapresiasi film The Science of Fictions dari Indonesia yang berhasil menembus kompetisi utama Festival Film Locarno, di Swiss. Setidaknya dalam satu dekade terakhir, belum ada film Indonesia yang maju hingga tahap tersebut.
Pemrogram Festival Film Locarno Julian Ross, di Locarno, Swiss, Selasa (13/8/2019), mengatakan, The Science of Fictions mampu mengusung lokalitas Indonesia secara spesifik. Primordialitas, tetapi dengan tema universal, menjadi aksen dalam film beralur kilas balik dan masa kini itu.
Film tersebut berkisah tentang Siman, pemuda di pelosok Yogyakarta. Siman melihat pengambilan gambar pendaratan manusia di Bulan yang dilakukan di Pantai Parangtritis pada 1960-an. Siman ditangkap lalu menjalani hidupnya dengan bergerak bagai mengalami antigravitasi seperti astronot.
Film berdurasi 106 menit itu disutradarai Yosep Anggi Noen. Locarno adalah festival film global terkemuka, bersanding dengan Cannes, Venice, Berlin, dan Sundance. Pada tahun ini, Locarno sudah diselenggarakan 72 kali. Pemenang festival itu akan diumumkan pada 17 Agustus 2019.
”Film itu (The Science of Fictions) adalah karya yang maju. Menuturkan sejarah yang terkait dengan peristiwa di belahan bumi lainnya,” ujarnya. Julian mengatakan, para sineas pembuat film itu juga melakukan pendekatan memori dan kapitalisme.
”Karya para sineas Indonesia sudah bagus. Tipe filmnya sangat berbeda dan mampu menjangkau publik internasional,” ucapnya.
Julian mengatakan, para sineas Indonesia diajak menciptakan cerita yang orisinal agar bisa mengikuti Festival Film Locarno dan meraih hasil memuaskan. ”Yakinlah terhadap karya kalian. Jangan berupaya mengikuti karya-karya yang diikutsertakan dalam festival-festival sebelumnya,” ucapnya.
Menurut Julian, penyelenggara Festival Film Locarno selalu mencari karya dengan perspektif yang unik.
Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya Kedutaan Besar Indonesia untuk Swiss dan Liechtenstein Ruth Yohanna mengatakan, pihaknya sangat senang The Science of Fictions meramaikan Festival Film Locarno. Tidak setiap tahun film Indonesia bisa menembus festival itu.
”Saya harap para sineas pembuat film itu bisa meraih Golden Leopard (penghargaan untuk pemenang Festival Film Locarno),” katanya. Setahu Yohanna, setidaknya selama 10 tahun terakhir, belum ada sineas Indonesia yang menggondol penghargaan itu.
Bahkan, selama itu, belum ada film Nusantara yang melaju hingga tahap kompetisi utama Festival Film Locarno. Film Indonesia yang sekadar diputar dalam festival itu biasanya muncul setiap tiga hingga lima tahun saja, tetapi tidak diikutsertakan dalam kompetisi utama. (BAY)