Rendah, Kemampuan Pemerintah Daerah Memungut Pajak
Kemampuan pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi relatif rendah. Sumber penerimaan masih mengandalkan transfer, baik dari pemerintah pusat berupa dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi relatif rendah. Sumber penerimaan masih mengandalkan transfer, baik dari pemerintah pusat berupa dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Benedictus Raksaka Mahi, mengatakan, daerah diberikan wewenang untuk memungut pajak berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun, kinerja pungutan pajak masih lemah yang tecermin pada rendahnya rasio pajak pemerintah daerah.
Berdasarkan data yang diolah Universitas Indonesia, rata-rata rasio pajak pemerintah daerah 1,2 persen pada 2017. Rasio pajak itu dihitung dari data agregasi provinsi, kabupaten, dan kota yang dibagi produk domestik bruto (PDB) nasional.
Dari 34 provinsi, hanya 10 provinsi yang rasio pajak pemerintah daerahnya di atas rata-rata 1,2 persen. Sepuluh provinsi tersebut, antara lain, Bali, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Banten, Maluku Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Rata-rata rasio pajak pemerintah daerah di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan sejumlah negara. Rasio pajak pemerintah daerah di Swedia, misalnya, sebesar 16 persen, Australia 4,4 persen, Portugal 2,3 persen, dan Hongaria 2 persen.
”Intinya, kalau perekonomian tumbuh bukan hanya belanja pemerintah naik, penerimaan pajak juga seharusnya meningkat,” kata Raksaka di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Menurut Raksaka, rendahnya rasio pajak pemerintah daerah terkait sistem pungutan pajak yang belum optimal. Perkembangan teknologi seharusnya dimanfaatkan secara maksimal untuk mengelola basis pajak daerah, seperti Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor.
Rendahnya ratio pajak pemerintah daerah juga dipengaruhi jenis-jenis pajak daerah yang memang kurang elastis (bouyant). Di Swedia, pemerintah daerah berwenang memungut Pajak Penghasilan (PPh) layaknya pemerintah pusat. Basis pajak sama, tetapi dipungut dua pihak.
”Namun, kebijakan pajak di negara lain juga belum tentu bisa diterapkan Indonesia. Terobosan untuk jenis pajak daerah baru butuh revisi undang-undang,” kata Raksaka.
Raksaka mengatakan, rasio pajak pemerintah daerah Bali tertinggi di atas 3,5 persen karena penerimaan dari pajak hotel dan restoran cukup tinggi. Di sisi lain, produk domestik regional bruto (PDRB) Bali juga cukup besar. Setiap daerah memiliki potensi pajak berbeda bergantung pada roda ekonominya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng berpendapat, beberapa daerah masih mengandalkan transfer dana dari pemerintah pusat. Sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja konsumtif, seperti belanja pegawai dan barang.
”Pola pikir pemerintah daerah harus berubah. Tidak hanya mengandalkan transfer dana dari pusat, tetapi juga mencari alternatif penerimaan,” kata Robert.
Menurut Robert, pemerintah daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan baru dan tidak hanya mengandalkan transfer dana dari pemerintah pusat. Tanpa adanya sumber-sumber penerimaan baru, percepatan pembangunan di daerah sulit terwujud karena APBD tidak cukup.
Pemerintah daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan baru dan tidak hanya mengandalkan transfer dana dari pemerintah pusat
Kualitas belanja
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, ruang fiskal pemerintah pusat relatif kecil karena sepertiga pendapatan disalurkan ke daerah. Namun, kualitas belanja pemerintah daerah masih rendah, misalnya, penggunaan dana alokasi umum.
”Sebagian besar dana alokasi umum yang diberikan pusat ke daerah hanya untuk belanja rutin pegawai,” kata Bambang.
Mengutip data Kementerian Keuangan, alokasi dana transfer ke daerah sebesar Rp 706,62 triliun atau 28,7 persen dari total belanja dalam APBN 2019. Transfer ke daerah terdiri dari dana transfer umum Rp 490,71 triliun, dana transfer khusus Rp 185,88 triliun, dan dana insentif daerah Rp 8,5 triliun.
Bambang mengatakan, pemerintah daerah harus memiliki analisis belanja yang cermat dan tajam. Tujuannya agar penerimaan daerah bisa menggerakkan perekonomian. Tolok ukurnya bukan jumlah penerimaan, melainkan kualitas belanja yang mesti diperbaiki.