Pak Swan Telah Menjadi Sejarah, Janganlah Melupakannya...
Oleh
Stefanus Ato
·3 menit baca
Perintis harian Kompas Polycarpus Swantoro atau yang akrab disapa Pak Swan yang berpulang pada Minggu, telah dimakamkan di tempat peristrahatan terakhir San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, Selasa (13/8/2019) siang. Kepulangan tokoh penting di balik berjayanya Kompas Gramedia itu meninggalkan banyak karya, jasa, dan nilai panutan yang patut dikenang, dijaga, dan dipertahankan.
Siang itu, di kawasan pemakaman San Diego Hills, suasana duka kental terasa. Dari istri Pak Swan, Rosa Antonia Kusmardijah, tiga putranya, cucu, dan segenap karyawan Kompas Gramedia yang hadir ikut larut dalam misa perayaan pemakaman.
Anak sulung Pak Swan, Nurbertus Nuranto, seusai pemakaman tak banyak berbicara. Dengan terbata-bata, ia mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada keluarga, kerabat, kenalan, dan segenap karyawan Kompas Gramedia yang telah membantu dari awal kepulangan Pak Swan hingga proses pemakaman ayahnya selesai digelar.
Kepergian Pak Swan tak hanya kehilangan keluarga, tetapi merupakan duka bersama keluarga besar Kompas Gramedia. Betapa tidak, almarhum selain sosok penting di balik suskesnya Kompas Gramedia, ia juga turut menentukan arah jurnalisme yang dianut Kompas. Latar belakangnya sebagai peminat sejarah melengkapi jurnalisme humanisme yang diusung dua perintis
Kompas, Jakob Oetama dan almarhum P K Ojong.
Romo Sindhunata saat berkisah tentang sosok Swantoro dalam perayaan misa pelepasan jenazah di lobi Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Pusat, Selasa pagi, mengatakan, minat Pak Swan yang sangat kuat di bidang sejarah ikut mewarnai arah jurnalisme Kompas.
"Pak Swan telah menjadi sejarah bagi
Kompas. Karena itu janganlah sampai kita melupakannya. Itulah janji yang boleh kita ucapkan untuk mengantar kepergiannya," kata Sindhu.
Jurnalisme sejarah itu, kata Sindhu, perlu dijaga wartawan Kompas untuk mengingatkan politikus negeri ini, terutama di masa reformasi. Politikus perlu diingatkan, bahwa mereka adalah manusia paling keras kepala menolak sejarah.
Kekuasan yang didapatkan politikus tak mau membuat mereka belajar sejarah. Akibatnya, mereka sendiri terjungkal dari cita-citanya. Bahkan hal itu tak hanya sekali tetapi berulang kali terjadi dan serupa dengan sebelumnya.
Jurnalisme sejarah perlu dijaga wartawan Kompas untuk mengingatkan politikus negeri ini. Politikus perlu diingatkan, bahwa mereka adalah manusia paling keras kepala menolak sejarah
"Bukan sejarah yang siklis, tetapi kekuasaan dan politiklah yang menjadikan sejarah ini siklis. Kekuasan juga menjadikan sejarah ini bergerak seperti digerakkan oleh hukum karma. Yang sekarang terjungkal, karena sebelumnya ia menjungkalkan lawannya," ucap Shindhu.
In finem omnia
Mgr Blasius Pujaraharja, saat memimpin misa pelepasan jenazah, membagikan kisahnya saat masih bersama Pak Swan mengeyam pendidikan di seminari menegah, 70 tahun lalu. Menurutnya, watak seseorang diketahui saat bermain sepakbola, termasuk watak Pak Swan.
"Salah satu yang saya ingat, dia (Swan) pemain sepak bola yang andal. Dan kalau sudah pegang bola, langsung maju, siapapun akan dikibaskan," ucap Mgr Blasius.
Di seminari, permainan sepakbola disebut dengan istilah in finem omnia, semua menuju pada tujuan akhir. Prinsip di seminari itu, diyakini menjadi dasar pijakan yang memengaruhi perjalanan Pak Swan selama berkarya sebagai jurnalis di Kompas. Prinsip itu, antara lain jujur, disiplin, dan fokus.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Liliek Oetama, mengatakan, sejak awal Pak Swan, almarhum PK Ojong, dan Jakob Oetama, saling bahu membahu membesarkan Kompas Gramedia. Pak Swan dan Jakob adalah dua pribadi yang saling melengkapi dengan didukung latar belakang pendidikan yang sama mewarnai perjalanan Kompas Gramedia.
"Pernah menjadi editor malam, menjaga ruang redaksi Kompas, Pak Swantoro dikenal tegas, namun juga lugas," ujar Liliek.
Liliek menambahkan, jenazah Pak Swan disemayamkan sejenak di Gedung Kompas Gramedia untuk memberi kesempatan kepada seluruh karyawan memberikan penghormatan terakhir. Ini juga sebagai momentum bagi generasi muda, khususnya karyawan, untuk melihat kembali perintis Kompas dengan nilai-nilai yang terus dipelihara dan dijaga sampai akhir hayatnya.
"Bagi perusahan, persemayaman sejenak di lobi Kompas Gramedia adalah sebagai bentuk penghormatan perusahan atas jasa-jasanya," tutur Liliek.
Menutup sambutannya, Liliek mewakili segenap karyawan Kompas Gramedia mengucapkan selamat jalan untuk Pak Swantoro. Semua jasa baikmu akan tetap kami kenang, idealismemu akan tetap dipertahankan.