Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan empat tersangka kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el. Selain memproses hukum tersangka, KPK juga fokus mengembalikan uang negara yang ditilap perusahaan.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan empat tersangka kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el. Selain memproses hukum tersangka, KPK juga fokus mengembalikan uang negara yang ditilap perusahaan.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Selasa (13/8/2019), di Jakarta, menjelaskan, keempat tersangka baru itu adalah anggota DPR RI 2014-2019 Miryam S Haryani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-el Husni Fahmi, dan Direktur Utama PT Sandipala Arthapura Paulus Tannos.
Keempat tersangka disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya, KPK menetapkan delapan tersangka. Tujuh di antaranya telah berubah status menjadi terpidana. Sementara satu tersangka lainnya, anggota Komisi II DPR Markus Nari, sedang menjalani proses persidangan.
Dari kasus korupsi KTP-el, yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun ini, Miriam diduga menerima uang sekitar 1,2 juta dollar AS. Hal itu terungkap dalam fakta persidangan terdakwa Setya Novanto atas kasus yang sama. Ia beberapa kali diduga meminta ”uang jajan” kepada Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto selama 2011-2012. Kedua orang itu sudah divonis bersalah oleh hakim.
Selaku Ketua Konsorsium PNRI, Isnu Edhi Wijaya bersama Paulus Tannos menyatakan kepada pihak swasta Andi Agustinus, yang juga divonis bersalah oleh hakim, bahwa jika ia ingin bergabung dengan Konsorsium PNRI, harus ada komitmen fee untuk pihak di DPR, Kemendagri, dan pihak lain.
Manajemen bersama Konsorsium PNRI diperkaya Rp 137,98 miliar dan Perum PNRI diperkaya Rp 107,71 miliar dalam proyek ini.
Sementara Husni Fahmi diduga ikut mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya KTP-el, dan seterusnya dengan tujuan menggelembungkan dana. Setelah itu, Husni sering melapor kepada Sugiharto.
Dia ditugaskan untuk berhubungan dengan vendor dalam hal teknis proyek KTP-el dan pernah diminta oleh Irman mengawal konsorsium, yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera. Husni ditugaskan untuk membenahi administrasi supaya vendor itu dipastikan lulus.
”Tersangka HFS (Husni Fahmi) diduga tetap meluluskan tiga konsorsium meskipun ketiganya tidak tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan hardware security modul (HSM) dan key management system (KMS),” katanya. Dari perbuatan Husni, negara dirugikan 20.000 dollar AS atau sekitar Rp 286 juta dan Rp 10 juta.
KPK mengingatkan para tersangka dan Perum PNRI, PT Sandipala Arthapura, serta pihak lain yang turut menikmati aliran dana KTP-el agar mengembalikan uang tersebut ke negara melalui KPK.
Sementara dari PT Sandipala Arthapura yang dipimpin Paulus Tannos, negara dirugikan Rp 145,85 miliar. Saat ini, Tannos berada di Singapura. Saut mengatakan, KPK akan berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk menghadirkan Tannos selama proses penyidikan.
KPK, kata Saut, mengingatkan para tersangka dan Perum PNRI, PT Sandipala Arthapura, serta pihak lain yang turut menikmati aliran dana KTP-el agar mengembalikan uang tersebut ke negara melalui KPK. Hal tersebut akan dipertimbangkan sebagai faktor meringankan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, dari empat tersangka serta perusahan yang berkaitan dengannya, negara dirugikan sekitar Rp 400 miliar. ”Upaya pengembalian uang negara juga menjadi konsen kami,” katanya.