Abrasi yang memanjang sekitar 15 kilometer kian menggerus permukiman warga di sepanjang tepi pantai di Desa Tanjung Aru hingga Desa Sungai Manurung, Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
NUNUKAN, KOMPAS — Abrasi yang memanjang sekitar 15 kilometer kian menggerus permukiman warga di sepanjang tepi pantai di Desa Tanjung Aru hingga Desa Sungai Manurung, Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara. Sebagian ruas jalan aspal di Desa Tanjung Aru sudah rusak dan warga memilih bertahan. Butuh dana dari pusat untuk pemecah gelombang.
Pada Selasa (13/8/2019), lebar jalan aspal di Desa Tanjung Aru tersisa sekitar 1,5 meter. Sebagian ruas jalan sudah retak dan ambles. Jalan itu masih dilalui kendaraan dan anak sekolah meski mereka harus berhati-hati.
Terdapat lima rumah panggung kayu yang masih bertahan, yang memunggungi pantai secara langsung. Salah satunya milik Sia (39). Rumah panggung itu tingginya sekitar 3 meter. Jika malam tiba, saat gelombang dari utara tiba, rumah kayunya bergoyang-goyang dan ia tetap bertahan.
”Sebelumnya rumah saya panjang ke belakang sampai sekitar 10 meter. Sekarang tersisa 6 meter karena rusak terbawa arus. Untung bagian depan masih selamat,” kata Sia.
Sebelumnya rumah saya panjang ke belakang sampai sekitar 10 meter. Sekarang tersisa 6 meter karena rusak terbawa arus. Untung bagian depan masih selamat. (Sia)
Sekitar 10 tahun lalu, bibir pantai berada sekitar 200 meter dari jalan aspal. Lambat laun terjangan ombak mengikis daratan itu hingga merusak jalan. Sia bingung bagaimana cara bertahan. Ia tak memiliki cukup uang untuk pindah ke daratan dan menjauhi pantai. Saat gelombang besar pada pertengahan tahun dan akhir tahun, ia terpaksa harus begadang untuk mengawasi anak-anaknya.
Saat gelombang tinggi, air masuk melalui celah-celah dasar kayu rumahnya. Mereka hanya berlindung di dipan yang lebih tinggi sambil merapal doa. Jika sudah parah, mereka baru mengungsi ke tetangga.
Penduduk lain, Ani (41), juga beralasan sama. Ia ingin sekali pindah, tetapi uangnya tak mencukupi untuk membeli lahan yang jauh dari pantai. Saat ini, panjang rumahnya hanya tersisa sekitar 6 meter membelakangi pantai. Sebelumnya, panjang rumahnya sekitar 12 meter.
”Semalam juga gelombang tinggi, hanya goyang-goyang rumahnya. Barang-barang sudah saya pindahkan ke depan. Anak-anak yang penting tidur di dekat kami,” ujar Ani.
Semalam juga gelombang tinggi, hanya goyang-goyang rumahnya. Barang-barang sudah saya pindahkan ke depan. Anak-anak yang penting tidur di dekat kami. (Ani)
Ani berniat mengungsi ke rumah saudaranya, tetapi letaknya sekitar 20 kilometer dari rumahnya. Ia juga tidak enak hati jika harus bergantung pada saudara. Permasalahan lain, suaminya harus melaut, jadi tidak bisa jauh dari rumahnya saat ini.
Rumah Ani berhadapan langsung dengan rumah Sarifudin (50). Saat gelombang utara tiba pada awal, pertengahan, dan akhir tahun, rumah Syarifudin yang tidak berbatasan langsung dengan pantai pun terkena imbasnya. Air itu masuk hingga ke ruang tamu dan menjilat-jilat perabotan miliknya.
”Ini kalau dibiarkan terus bisa bahaya. Butuh pemecah ombak memang,” kata Syarifudin sambil memegang kepalanya.
Pejabat Pelaksana Kepala Desa Tanjung Aru Suriansyah mengatakan, warga dan beberapa perangkat desa sudah bergotong royong untuk mengurangi dampak abrasi dengan peralatan sederhana. Terlihat puluhan karung berisi pasir dan patok kayu sepanjang 3 meter di tepi pantai. Namun, hal itu tidak menolong sama sekali. Jalan tetap terlibas.
”Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nunukan sudah melakukan survei tempo hari. Waktu itu, mereka bilang akan bersurat ke provinsi,” ujar Suriansyah.
Dihubungi secara terpisah, Kepala BPBD Provinsi Kalimantan Utara Mohammad Pendi mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman Kaltara. Mereka saat ini sudah bersurat kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mendapatkan bantuan dana pembuatan pemecah gelombang.
”Kami juga sudah mengecek kondisi di lapangan, tetapi memang kami masih menunggu jawaban dari pusat,” kata Pendi ketika dihubungi.
Apabila dibiarkan, abrasi ini akan terus menggerus daratan dan ratusan rumah terancam dampaknya. Mereka yang tinggal di sepanjang pantai itu mengandalkan laut sebagai mata pencarian, yakni petani rumput laut dan nelayan tradisional.
Jika malam hari, tempat ini kontras dengan kondisi Tawau, Sabah, Malaysia, yang terlihat dari tepi pantai. Di sana gemerlap lampu terlihat, melambangkan kegembiraan penghuninya, sedangkan di pantai itu remang-remang dan warganya dilanda ketakutan.