Beberapa regulasi yang tumpang tindih biasanya terkait dengan izin penggunaan lahan. Para kepala daerah pun juga kerap memperumit para investor untuk mendapat izin.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Iklim investasi dinilai masih buruk karena investor masih kesulitan mendapatkan izin di tingkat daerah. Birokrasi yang rumit dan banyaknya peraturan daerah yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat menjadi faktor yang mempersulit investor mewujudkan rencana investasi di daerah.
Partner Dentons HPRP, Al Hakim Hanafiah, menilai, pemerintah pusat sudah mempermudah izin investasi dengan membentuk layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS). Namun, kemudahan tersebut belum didukung regulasi daerah sehingga investor kerap menemui hambatan saat mengurus perizinan.
”Para investor menilai, masih banyak perda yang bertentangan dengan pemerintah pusat. Padahal, di tingkat pusat mereka sudah mendapatkan izin untuk berinvestasi,” katanya saat kunjungan ke Redaksi Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan statistik Indeks Pembatasan Peraturan (Regulatory Restrictiveness Index/RRI) pada 8 Agustus 2019, yang dikutip pada Sabtu (10/8/2019), menyebutkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan hambatan regulasi investasi asing langsung tertinggi di dunia, yakni peringkat ke-67 dari 69 negara.
Hakim mengatakan, beberapa regulasi yang tumpang tindih biasanya terkait dengan izin penggunaan lahan. Para kepala daerah juga kerap memperumit para investor untuk mendapat izin.
”Beberapa kepala daerah tidak mau ambil pusing jika ada lahan yang ternyata tumpang tindih perizinan penggunaan lahannya. Misalnya, ternyata lahan tersebut merupakan daerah hutan lindung yang penggunaannya tumpang tindih dengan wilayah pertambangan,” katanya.
Belum proaktif
Menurut Hakim, saat ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga masih belum proaktif menarik minat investor asing. Ia mengatakan, BKPM juga masih belum memulai peran sebagai pengambil keputusan.
”Kami berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo selama lima tahun ke depan benar-benar bisa memangkas regulasi yang mempersulit izin dan memperkuat peran lembaga investasi daerah,” katanya.
Sementara itu, OECD mengukur hambatan regulasi investasi pada 22 sektor industri. Di Indonesia, sektor yang paling tinggi hambatan investasinya, antara lain, konstruksi real estat dengan nilai RRI sebesar 1; perikanan 0,735; pertambangan dan penggalian 0,589; ritel 0,540; serta media radio dan siaran televisi 0,810.
Pertengahan Juli, Presiden terpilih hasil Pemilu 2019 Joko Widodo mengungkapkan, Indonesia harus mengundang investasi seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya. Jokowi juga berencana membentuk dua kementerian baru, yaitu Kementerian Digital Ekonomi Kreatif dan Kementerian Investasi dalam kabinet berikutnya.
”Kita melihat perkembangan dunia yang begitu cepat dan pemerintah ingin merespons itu secara cepat, maka ada kementerian-kementerian baru,” kata Jokowi dalam pertemuan dan makan siang bersama sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (14/8/2019), seperti diberitakan Kompas.com.
Pergeseran investasi
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengemukakan, kinerja investasi pada triwulan II-2019 jadi peringatan karena hanya tumbuh 5,01 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,05 persen. Stimulus investasi terhadap perekonomian juga rendah.
”Ada pergeseran model investasi yang masuk ke Indonesia. Investasi di sektor primer dan sekunder yang strukturnya padat karya justru ditinggalkan, beralih ke investasi tersier,” ucap Ahmad.
Mengutip data Indef, investasi dalam struktur produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II-2019 terdiri dari sektor primer 21,42 persen, sekunder 32,83 persen, dan tersier 45,88 persen. Realisasi investasi pada triwulan II-2019 sebesar Rp 200,5 triliun terdiri dari penanaman modal dalam negeri Rp 95,6 triliun dan penanaman modal asing Rp 104,9 triliun.