Tokyo mempertanyakan rencana Seoul mengeluarkan Jepang dari daftar penerima kemudahan perizinan ekspor Korea Selatan. Baku cabut fasilitas khusus ekspor, yang menjadi penanda sengketa Jepang-Korea Selatan, belum akan berakhir.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
TOKYO, SELASA — Tokyo mempertanyakan rencana Seoul mengeluarkan Jepang dari daftar penerima kemudahan perizinan ekspor Korea Selatan. Baku cabut fasilitas khusus ekspor, yang menjadi penanda sengketa Jepang-Korea Selatan, belum akan berakhir.
Menteri Perindustrian Jepang Hiroshige Seko mengatakan, Korea Selatan gagal menunjukkan bukti bahwa Jepang tidak memenuhi standar pengendalian ekspor internasional. Ia merujuk pada pernyataan pejabat Korsel yang menyebutkan rencana Seoul mengeluarkan Tokyo dari daftar penerima kemudahan ekspor karena alasan pemenuhan standar itu.
”Sejak awal, sama sekali tidak jelas apa dasar Korea Selatan bisa menyatakan kebijakan pengendalian ekspor Jepang tidak sesuai dengan tata pengendalian ekspor (internasional),” kata Seko melalui media sosial, Selasa (13/8/2019).
Pernyataan itu dikeluarkan sehari setelah Seoul mengumumkan rencana mengeluarkan Jepang dari daftar penerima kemudahan perizinan ekspor. Kebijakan itu akan berlaku mulai September 2019.
Seoul mengumumkan itu beberapa pekan selepas Jepang menerapkan kebijakan serupa kepada Korsel. Tokyo menyatakan tidak melarang, tetapi hanya mengendalikan ekspor material sensitif. Tokyo beralasan, Seoul gagal mengendalikan material sensitif yang diekspor Jepang ke Korsel.
Material itu, yakni hidrogen fluorida dan antisinar (photoresist), dibutuhkan industri teknologi tinggi Korsel. Jepang adalah salah satu pemasok utama material itu. Tokyo menuding material itu diekspor ulang dari Korsel ke Korea Utara untuk pembuatan senjata di Korut. Korsel membantah tudingan itu dan meminta digelar penyelidikan internasional untuk membuktikan tudingan tersebut.
Seoul menuduh kebijakan kontrol ekspor oleh Tokyo itu sebagai pembalasan atas keputusan Mahkamah Agung Korsel. Pada 2018, MA Korsel memerintahkan sejumlah perusahaan Jepang membayar ganti rugi kepada sejumlah warga Korsel yang dijadikan tenaga kerja paksa di perusahaan-perusahaan Jepang selama Jepang menduduki Korea.
Aneka dampak
Perselisihan Seoul-Tokyo membawa aneka dampak. Gubernur Bank Sentral Korsel Lee Ju-yeol menyebut pembatasan ekspor Jepang menjadi salah satu penyebab bank sentral merevisi target pertumbuhan ekonomi Korsel dari 2,5 persen menjadi 2,2 persen. ”Jika pembatasan diwujudkan dan ditambah, kita tidak bisa menyebut dampaknya pada ekonomi akan kecil. Ini perlu diselesaikan,” katanya.
Perselisihan itu juga harus ditanggung dampaknya oleh konsumen. Dalam jangka pendek akan ada gangguan pasokan material yang dibutuhkan dalam produksi semikonduktor. Hal itu dapat memicu kenaikan harga jual.
Dampak perselisihan itu dikhawatirkan juga meluas ke sektor keamanan. Secara terbuka, Korsel menyatakan tidak berminat melanjutkan kerja sama keamanan dalam kerangka Kesepakatan Pertukaran Informasi Keamanan Umum Militer atau General Security of Military Information Agreement (GSOMIA). Dalam traktat yang berlaku sejak 2016 itu, Amerika Serikat-Korsel-Jepang sepakat saling berbagai informasi militer di kawasan.
Perjanjian itu diperbarui setiap 24 Agustus. Traktat itu menjadi salah satu perangkat penting bagi AS-Korsel-Jepang untuk mengawasi Korut yang terus meluncurkan rudal.
Seoul beralasan, tidak mungkin menjalin kerja sama pertahanan dengan negara yang meragukan kemampuan Korsel. Seoul menyebut tudingan ekspor ulang hidrogen fluorida dan antisinar sebagai bentuk keraguan Jepang kepada Korsel. Sebaliknya, Tokyo menyatakan tetap ingin melanjutkan kerja sama dalam kerangka GSOMIA.
Anggota DPR Korsel, Ha Tae-kyung, menyebut ada 48 pertukaran informasi intelijen dalam kerangka GSOMIA. Sementara Jepang mengklaim hanya ada 30 pertukaran informasi sejak 2016. (AP/REUTERS/RAZ)