Sektor pariwisata dan industri kreatif saling mendukung. Kesadaran dan komitmen mesti dibangun dan dijaga untuk memajukan kedua sektor ini. Kemajuan yang berjalan seiring bisa meningkatkan daya tarik dan daya saing pariwisata Indonesia.
Oleh
MEDIANA/ANGGER PUTRANTO/M CLARA WRESTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor pariwisata dan industri kreatif saling mendukung. Kesadaran dan komitmen mesti dibangun dan dijaga untuk memajukan kedua sektor ini. Kemajuan yang berjalan seiring bisa meningkatkan daya tarik dan daya saing pariwisata Indonesia.
Berdasarkan Indeks Daya Saing Pariwisata 2017 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia ada di peringkat ke-42 dari 136 negara. Data WEF yang dikutip pada Selasa (13/8/2019) menunjukkan, dari 14 komponen yang dinilai, peringkat tertinggi bagi Indonesia ada di daya saing harga, yakni peringkat ke-5.
Direktur Hubungan Antar-Lembaga Dalam Negeri Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hassan Abud menyampaikan, sektor pariwisata dan industri kreatif tidak bisa dipisahkan. Ketika kedua sektor ini tumbuh beriringan, wisatawan bisa menambah waktu singgah dan meningkatkan nilai belanja.
”Indonesia kaya dengan wisata alam. Hal ini menjadi daya tarik wisatawan untuk datang, tetapi belum tentu membuat waktu berkunjung menjadi lama. Keindahan alam perlu diikuti penawaran layanan dari subsektor industri kreatif, misalnya kuliner, kriya, dan seni rupa,” ujarnya.
Hal yang sama berlaku sebaliknya. Pengembangan industri kreatif di suatu daerah bisa menciptakan daya tarik wisata.
Pemerintah daerah, lanjut Hassan, mesti memetakan kebutuhan industri kreatif.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah salah satu daerah yang telah mengelompokkan potensi industri kreatif ada di 27 kabupaten/kota, seperti sentra industri rotan di Cirebon, sentra industri bambu di Tasikmalaya, dan seni pertunjukan di Karawang. DI Yogyakarta, Bali, Riau, Kota Surabaya, dan Kabupaten Banyuwangi juga dinilai sudah siap.
Tinggal lebih lama
Kreativitas yang menggerakkan sektor pariwisata terbukti di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Salah satu buktinya, penyelenggaraan 99 festival untuk menarik wisatawan dan membuat wisatawan semakin lama tinggal di Banyuwangi.
”Fenomena Api Biru di Kawah Gunung Ijen masih menjadi primadona pariwisata di Banyuwangi. Wisatawan, terutama wisatawan asing, datang ke Banyuwangi karena tertarik dengan Gunung Ijen,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda di Banyuwangi.
Melihat potensi itu, Dinas Pariwisata Banyuwangi menata desa-desa yang dilewati wisatawan saat menuju atau meninggalkan Ijen. Salah satunya, desa adat Kemiren yang menyuguhkan wisata budaya dan kuliner tradisional.
Adapun Taman Agrowisata Taman Suruh di kaki Gunung Ijen seluas 8 hektar digunakan untuk Agro Expo Festival. Pemerintah Banyuwangi menjadikan lokasi itu sebagai destinasi wisata setiap akhir pekan, yang dikunjungi sekitar 1.000 wisatawan per hari.
Berbagai upaya itu meningkatkan lama tinggal wisatawan, dari 0,5 hari menjadi 2,8 hari.
Menurut data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, rata-rata wisatawan mancanegara menghabiskan Rp 2,7 juta per hari per orang. Sementara wisatawan domestik membelanjakan Rp 1,5 juta per hari per orang.
Pariwisata merupakan salah satu motor penggerak ekonomi Banyuwangi. Pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi naik dari Rp 10,86 juta pada 2010 menjadi Rp 48,75 juta pada 2018.
Geliat pariwisata itu berdampak langsung terhadap perekonomian warga. Siami (42), warga Desa Taman Suruh, yang sebelumnya menjadi pengemudi ojek dalam jaringan (daring), kini berjualan makanan dan minuman instan di area Agro Expo.
”Saya pengemudi ojek daring dengan penghasilan Rp 50.000 per hari. Sejak berjualan di Agro Expo, saya bisa mendapat Rp 500.000 per hari,” ucapnya.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar mengatakan, pariwisata merupakan salah satu motor penggerak ekonomi Banyuwangi. Pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi naik dari Rp 10,86 juta pada 2010 menjadi Rp 48,75 juta pada 2018.
”Geliat ekonomi sejalan dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Banyuwangi. Kunjungan wisatawan domestik naik dari 491.000 orang pada 2010 menjadi 5,2 juta orang pada 2018. Adapun kunjungan wisatawan mancanegara naik dari 12.505 orang pada 2010 menjadi 127.420 orang pada 2018,” ujarnya.
Daerah lain yang meraih manfaat dari kegiatan wisata adalah Sulawesi Utara. Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sulut pada 2015 sebanyak 20.000 dan naik menjadi 120.000 orang pada 2018.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulut Edwin Silangen mengatakan, tahun ini Sulut mengelar 14 kegiatan unggulan di 15 kota dan kabupaten se-Sulut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik rata-rata menginap 1,77 hari di hotel berbintang pada Juni 2019.