Dakwaan Markus Nari: Uang Mengalir ke Mantan Mendagri, Anggota DPR, dan Korporasi
Anggota DPR periode 2009-2014, Markus Nari, didakwa memperkaya diri sendiri sebesar 1,4 juta dollar AS atau setara Rp 19,94 miliar dalam perkara dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik. Dana dugaan korupsi mengalir ke mana-mana, mulai dari mantan menteri dalam negeri, anggota DPR, hingga korporasi.
Oleh
Sharon Patricia
·1 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota DPR periode 2009-2014 Markus Nari didakwa memperkaya diri sebesar 1,4 juta dollar AS atau setara Rp 19,94 miliar. Markus didakwa korupsi dalam perkara pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (14/8/2019), jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi membacakan dakwaan atas Markus.
Markus didakwa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana selaku anggota Badan Anggaran dan Anggota Komisi II DPR dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket penerapan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2013.
Tak hanya memperkaya diri sendiri, Markus juga memperkaya sejumlah orang dan korporasi dengan rincian:
Setya Novanto, selaku Ketua Fraksi Partai Golkar DPR, menerima sejumlah 7,3 juta dollar AS atau setara Rp 103,98 miliar.
Irman, selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, menerima sebesar Rp 2,37 miliar, 877.700 dollar AS atau setara Rp 12,50 miliar, dan 6.000 dollar Singapura atau setara Rp 61,68 juta.
Sugiharto, selaku Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011-2012, menerima uang sejumlah 3,47 juta dollar AS atau setara Rp 49,49 miliar.
Andi Agustinus alias Andi Narogong, penyedia barang/jasa pada Kementerian Dalam Negeri, menerima sejumlah 2,5 juta dollar AS atau setara Rp 35,62 miliar dan Rp 1,19 miliar.
Gamawan Fauzi, selaku Menteri Dalam Negeri, menerima Rp 50 juta, 1 unit ruko di Grand Wijaya, dan sebidang tanah di Jalan Brawijaya III.
Diah Anggraini, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, menerima sejumlah 500.000 dollar AS atau setara Rp 7,12 miliar dan Rp 22,5 juta.
Drajat Wisnu Setyawan, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, menerima sejumlah 40.000 dollar AS atau setara Rp 569,89 juta dan Rp 25 juta.
Anggota panitia pengadaan barang/jasa sebanyak enam orang masing-masing sejumlah Rp 10 juta.
Johannes Marliem menerima sejumlah 14,88 juta dollar AS atau setara Rp 211,99 miliar dan Rp 25,24 miliar.
Miryam S Haryani, anggota DPR, sejumlah 1,2 juta dollar AS atau setara Rp 17,09 miliar.
Ade Komarudin, selaku anggota DPR, sejumlah 100.000 dollar AS atau setara Rp 1,42 miliar.
M Jafar Hafsah, anggota DPR, sejumlah 100.000 dollar AS atau setara Rp 1,42 miliar.
Beberapa anggota DPR periode 2009-2014 sejumlah 12,46 juta dollar AS atau setara Rp 177,46 miliar dan Rp 44 miliar.
Husni Fahmi sejumlah 20.000 dollar AS atau Rp 284,95 juta dan Rp 10 juta.
Tri Sampurno sejumlah Rp 2 juta.
Beberapa anggota Tim Fatmawati, yakni Yimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Supriyantono, Setyo Dwi Suhartanto, Benny Akhir, Dudy Susanto, dan Mudji Rachmat Kurniawan, masing-masing sejumlah Rp 60 juta.
Wahyudin Bagenda, Direktur Utama PT LEN Industri, sejumlah Rp 2 miliar.
Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku Direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp 1 miliar serta untuk kepentingan gathering dan SBU masing-masing sejumlah Rp 1 miliar.
Mahmud Toha sejumlah Rp 3 juta.
Manajemen Bersama Konsorsium PNRI sejumlah Rp 137,98 miliar.
Perum PNRI sejumlah Rp 107,71 miliar.
PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp 145,85 miliar.
PT Mega Lestari Unggul yang merupakan perusahaan induk PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp 148,86 miliar.
PT LEN Industri sejumlah Rp 3,42 miliar.
PT Sucofindo sejumlah Rp 8,23 miliar.
PT Quadra Solution sejumlah Rp 79 miliar.
Menghalangi saksi
Selain itu, Nari juga didakwa dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas saksi Miryam S Haryani dan terdakwa Sugiharto.
Atas perbuatannya, Bowo diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 22 Juncto Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.