Meluruhkan Isu Radikalisme di Indonesia (1)
Kandasnya perizinan FPI ternyata berbuntut panjang. Alih-alih mengeluarkan surat keterangan terdaftar yang baru, pemerintah melakukan screening untuk mengetahui dengan pasti rekam jejak dan ideologi organisasi kemasyarakatan Islam ini.
Kandasnya perizinan Front Pembela Islam ternyata berbuntut panjang. Alih-alih mengeluarkan surat keterangan terdaftar yang baru, pemerintah melakukan screening untuk mengetahui dengan pasti rekam jejak dan ideologi organisasi kemasyarakatan Islam ini. Pemerintah akan mengizinkan kegiatan semua ormas di Indonesia selama pandangan mereka tidak bertentangan dengan ideologi negara.
Surat keterangan terdaftar FPI yang kedaluwarsa pada 20 Juni 2019 menjadi pemicu munculnya polemik terhadap ormas yang sarat dengan kontroversi ini. Pro-kontra muncul di masyarakat terkait dengan kelangsungan hidup ormas yang identik dengan atribut pakaian gamis atau jubah putih ini. Polemik tersebut bermuara pada perpecahan sikap publik terhadap nasib FPI, yaitu kelompok yang ingin FPI dibubarkan dan kelompok yang ingin FPI dipertahankan.
Pemerintah bisa saja membatalkan surat keterangan terdaftar (SKT) FPI jika ormas ini terindikasi melakukan pelanggaran yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau melawan Pancasila sebagai ideologi negara. Sinyal ini sudah dinyatakan Presiden Joko Widodo ketika diwawancarai kantor berita AP pada Minggu (28/7).
Dalam wawancara tersebut Presiden menyatakan, terbuka kemungkinan pemerintah tidak akan memperpanjang izin atau SKT ormas FPI jika dinilai tidak sejalan dari aspek keamanan dan ideologi. ”Ya, tentu saja sangat mungkin. Jika pemerintah meninjau dari sudut pandang keamanan dan ideologi, menunjukkan bahwa mereka tidak sejalan dengan negara,” kata Presiden Jokowi. (Kompas.com, 28/7/2019)
Kasus SKT FPI ini menjadi viral setelah seseorang bernama Ira Bisyir membuat petisi di laman change.org mengajak masyarakat menolak perpanjangan izin FPI sebagai ormas. ”Mengingat akan berakhirnya izin organisasi FPI di Indonesia, mari kita bersama-sama menolak perpanjangan izin mereka... karena organisasi tersebut adalah merupakan kelompok radikal, pendukung kekerasan dan pendukung HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)”, tulis akun bernama Ira di laman tersebut pada 6 Mei 2019.
Media sosial Twitter pun diramaikan oleh perbincangan yang jadi trending topic nasional dengan #BubarkanFPI. Apakah nasib FPI akan sama dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang eksistensinya sudah berakhir lantaran dibubarkan oleh pemerintah karena terbukti berpotensi mengancam NKRI dan ideologi Pancasila?
Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan habis masa berlakunya pada 20 Juni 2019. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan, SKT perlu didapatkan ormas yang tidak berbadan hukum agar terdaftar pada administrasi pemerintahan. SKT ini berlaku lima tahun sejak ditandatangani dan menjadi instrumen bagi pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol keberadaan dan aktivitas semua ormas.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membantah tuduhan adanya politisasi dalam proses perpanjangan izin organisasi kemasyarakatan (ormas) FPI. Dia mengungkapkan, bukan cuma FPI yang diurus negara perizinannya, melainkan juga ada 400.000 ormas lainnya di Indonesia. Menurut Mendagri, ormas itu masih belum melengkapi syarat-syarat perpanjangan izin SKT.
Sebelumnya, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo mengatakan, salah satu syarat yang harus FPI penuhi adalah rekomendasi dari Kementerian Agama. FPI juga belum menyerahkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi yang ditandatangani pengurusnya. Soedarmo mengatakan, salah satu syarat yang harus dipenuhi FPI adalah rekomendasi dari Kementerian Agama.
Persyaratan lain yang belum dilengkapi FPI antara lain tidak ada konflik internal serta surat pernyataan tidak menggunakan lambang, gambar, bendera yang sama dengan ormas lain. (Kompas.com 29/7/2019)
Kekerasan
FPI selama ini selalu diidentikkan sebagai ormas yang kontroversial karena para anggotanya kerap menunjukkan perilaku keras dan intoleran dalam aktivitas mereka. Pada masa-masa awal pendirian ormas di era pascareformasi 1998, aktivitas ormas ini lebih banyak mengeksploitasi kegiatan sweeping kepada masyarakat yang diklaim dalam rangka menegakkan perintah agama. Aksi razia terhadap tempat hiburan malam, diskotek, warung yang buka saat puasa sudah menjadi ciri FPI yang dikenal masyarakat luas.
Beberapa tahun belakangan kegiatan FPI sudah mulai menyentuh gerakan politik, saling bergandeng tangan dengan kelompok-kelompok Islam yang memiliki orientasi perjuangan yang sama, menegakkan syariat Islam. Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan ajang bagi FPI untuk menunjukkan wajah politiknya secara terbuka melalui aksi bela agama yang dilaksanakan secara berturut-turut untuk melawan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki dituding menista agama Islam sehingga dituntut mundur dari jabatannya. Basuki kalah dalam pilgub dan posisinya digantikan oleh rival politiknya, Anies Baswedan.
Dalam Pemilihan Presiden 2019, FPI berafiliasi dengan pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mengikuti arahan imam besar FPI, Habib Rizieq Syihab. Aktivitas politik FPI selama proses pilpres diakomodasi melalui Persaudaraan Alumni 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U). Melalui kedua gerakan ini, FPI menyerukan semua perintah Habib Rizieq terkait dengan strategi untuk memenangkan Prabowo. Ijtimak Ulama menjadi payung politik yang mewadahi komponen-komponen ulama yang menghendaki Prabowo menjadi presiden ke-8 RI menggantikan Joko Widodo.
Ormas radikal
Fenomena FPI mengingatkan kasus pembubaran ormas sejenis, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam sejumlah literatur yang membahas tentang dinamika gerakan Islam kontemporer di Indonesia, kedua ormas ini sering dikategorikan sebagai ”ormas radikal”. Pasalnya, kedua ormas ini menunjukkan perilaku yang menentang atau menolak tatanan hukum yang ada dan ingin menggantinya dengan tatanan hukum Islam yang bersandar pada syariat Islam yang letterlijk.
Sri Yunanto dalam buku Islam Moderat vs Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (Yogyakarta, 2018) berpendapat, penggunaan istilah radikal dalam menjelaskan gerakan kelompok Islam merujuk pada perilaku yang berupaya mengevaluasi, menentang, menolak sistem politik yang ada seperti demokrasi, negara nasionalis, serta berusaha mengubahnya sesuai dengan cita-cita masyarakat Islam, dengan cara, misalnya, formalisasi hukum Islam melalui amendemen undang-undang. Dengan karakter itu, beberapa tindakan radikal cenderung mengarah pada tindak kekerasan.
FPI dan HTI meskipun secara ideologis berada dalam satu kubu, strategi dan tujuan perjuangannya sama sekali berbeda. FPI yang dibentuk pada 17 Agustus 1998 merupakan ormas Islam yang berupaya mengembalikan martabat umat Islam Indonesia yang—menurut mereka—sudah terpinggirkan perannya dan ditindas selama Orde Baru. Umat Islam sebagai mayoritas wajib bertindak dan menyatukan barisan. Menurut gagasan FPI, jika para ulama bersatu, umat Islam tidak akan ”diacak-acak”.
FPI mengambil peran yang nyata terlibat dalam kontrol sosial yang dinilai semakin lemah sejak berakhirnya Orde Baru. Menurut kacamata mereka, kerusuhan, kejahatan, dan kemaksiatan yang semakin merajalela merupakan indikator lemahnya pemerintah dalam mencegah tindakan-tindakan yang bisa merusak moral umat Islam dan rakyat Indonesia. Untuk itulah, FPI merasa berhak mengambil inisiatif sebagai pelopor dalam membendung dampak reformasi yang bisa membahayakan umat Islam.
Sebagai perwujudan dari peran strategis tersebut, FPI cenderung bertindak sendiri dalam menegakkan syariah Islam, seperti sweeping atau razia tempat-tempat hiburan yang dinilai melanggar syariat Islam. Aksi yang sarat dengan tindak kekerasan itu cenderung anarkistis karena mengabaikan peran aparat keamanan yang menjadi penegak hukum. Iktikad untuk menegakkan syariah Islam ini juga berkembang menjadi intimidasi terhadap kaum minoritas dan melakukan berbagai penutupan tempat ibadah non-Muslim.
Dalam dimensi politik, FPI memandang negara non-Muslim adalah negara kafir. Meski demikian, FPI tetap wajib menjaga hubungan baik dengan non-Muslim selama tidak masuk kategori kafir harbi. Pandangan ini mengindikasikan FPI masih menyisakan penghargaan terhadap pluralisme yang sudah menjadi sunnatullah bangsa Indonesia.
Dari perilaku yang tampak, FPI merepresentasikan gerakan puritanisme Islam yang ingin mengembalikan tatanan hidup masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Toleransi terhadap perbedaan yang menjadi semangat demokrasi diabaikan, bahkan cenderung ditentang, karena dianggap lebih rendah daripada perjuangan menegakkan syariat Islam. Sumber kedaulatan dalam Islam berasal dari Tuhan, bukan dari rakyat.
Watak FPI yang keras dan intoleran terhadap kelompok minoritas meninggalkan stigma radikal kepada ormas ini. Bagi sebagian masyarakat, FPI bahkan dicap menjadi ancaman bagi NKRI karena garis perjuangannya berbeda dengan nilai-nilai Pancasila. (Litbang Kompas) (Bersambung)