Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian kembali diserukan pekerja dan buruh. Pekerja dan buruh merasa distribusi manfaat dua program itu belum optimal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian kembali diserukan pekerja dan buruh. Pekerja dan buruh merasa distribusi manfaat dua program itu belum optimal.
Jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi manfaat perlindungan risiko atas kecelakaan kerja pergi, pulang, di tempat kerja, dan perjalanan dinas. Manfaat lain berupa perawatan medis tanpa batas biaya, santunan upah selama tidak bekerja, santunan kematian akibat kecelakaan kerja, bantuan beasiswa untuk satu orang anak, dan pendampingan kembali bekerja.
Adapun Jaminan kematian (JKM) meliputi manfaat santunan kematian, santunan berkala 24 bulan, biaya pemakaman, dan bantuan beasiswa untuk satu anak.
Mengutip laporan pengelolaan program BPJS Ketenagakerjaan 2018, penerimaan iuran JKK Rp 5,32 triliun dan JKM Rp 2,49 triliun. Pada 2018, BPJS Ketenagakerjaan membayar manfaat JKK Rp 1,22 triliun untuk 173.415 klaim.
Nilai manfaat JKM yang dibayar Rp 708,23 miliar untuk 25.883 klaim.
Sampai dengan 31 Juli 2019, ada 85.109 klaim kasus kecelakaan kerja dengan pembayaran jaminan Rp 704 miliar. Sementara kasus JKM mencapai 14.496 klaim dengan nilai pembayaran manfaat Rp 397 miliar.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menyebutkan, dana kelolaan program JKK Rp 32,5 triliun dan JKM Rp 11,8 triliun. Dengan dana kelolaan sebesar ini, mestinya distribusi manfaatnya juga besar. Namun, kenyataannya tidak demikian.
”Bentuk manfaat baru bisa dikembangkan. Cara lain, meningkatkan nilai pembayaran atas bentuk manfaat yang sudah ada. Serikat buruh dan pekerja, seperti kami, telah menyampaikan usulan ini kepada pemerintah,” kata Timboel di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Menurut dia, urgensi merevisi PP No 44/2015 sebenarnya hanya terkait optimalisasi manfaat, baik dari sisi menambah bentuk manfaat baru maupun nilai pembayarannya. Tujuannya, agar dana kelolaan JKK dan JKM bisa dirasakan lebih maksimal oleh pekerja/buruh.
Akan tetapi, pekerja/buruh tidak menyarankan kenaikan iuran JKK dan JKM. Alasannya, kenaikan upah minimum setiap tahun secara otomatis meningkatkan nominal iuran.
Saat ini, untuk pekerja penerima upah, besaran iuran JKK berkisar 0,24-1,74 persen dari upah sebulan. Sementara besaran iuran JKM sebesar 0,3 persen dari upah sebulan.
”Seruan merevisi PP No 44/2015 sudah terjadi sejak sekitar dua tahun lalu. Sejumlah serikat pekerja/buruh melakukannya, Namun, mereka sampai sekarang belum mendapati pemerintah mengkaji ulang PP itu,” klaim Timboel.
Pendistribusian manfaat JKK yang belum optimal itu juga bisa dilihat dari kerumitan pengajuan klaim, terutama kasus penyakit akibat kerja.
Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Enda Illyas Lubis yang dikonfirmasi belum menjawab.
Sementara Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Rocan Aswan membenarkan adanya revisi PP No 44/2015. Tahapannya dalam proses harmonisasi di tingkat kementerian.
”Sikap kami, menginginkan perbaikan manfaat JKK dan JKM lebih baik bagi pekerja/buruh,” kata Rocan. (MED)