DPR RI periode 2019-2024 akan lebih banyak diisi petahana, sedangkan DPD didominasi anggota legislatif nonpetahana. Namun, sirkulasi elite yang cukup tinggi di dua institusi itu dinilai belum menjanjikan perubahan.
JAKARTA, KOMPAS - Hasil Pemilu 2019 menunjukkan adanya sirkulasi elite yang cukup tinggi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun, masuknya sosok-sosok non-petahana di kedua lembaga tinggi negara itu dinilai belum menjanjikan perubahan karena sebagian dari caleg non-petahana itu masih terkait dengan jejaring politik kekerabatan.
Berdasar kajian Litbang Kompas dari hasil Pemilu 2019, DPR RI lebih banyak diisi oleh caleg petahana, sedangkan DPD didominasi caleg non-petahana. Jumlah caleg DPR petahana yang terpilih mencapai 52,3 persen dari total 575 anggota DPR RI.
Sementara caleg DPD petahana yang terpilih kembali hanya 46 orang (33,8 persen), sedangkan nonpetahana mencapai 90 orang (66,2 persen).
Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/8/2019) menyampaikan adanya regenerasi anggota legislatif adalah hal yang baik. Namun, pada titik lain, harus diperhatikan juga latar belakang mereka.
Aditya mengatakan, sebagian caleg yang terpilih adalah orang-orang yang memiliki jejaring politik dari keluarganya. Apabila kemudian para caleg terpilih itu tidak mampu menunjukkan kompetensinya, maka tak akan ada perubahan yang signifikan.
“Kami pernah mengecek terutama yang perempuan, ada juga yang laki-laki terutama anggota DPR, mereka itu berasal dari dinasti politik. Jadi entah ayah atau suami, memang punya afiliasi dengan keluarga politik,” katanya.
Sementara itu, kendati tren sirkulasi elite di DPD lebih tinggi dari DPR. Namun, menurut pengajar FISIP Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Nyarwi Ahmad jika dilihat secara menyeluruh, cukup banyak kandidat terpilih di DPD merupakan bagian dari jejaring politik kekerabatan.
“Artinya sekalipun nonpetahana, tetapi mereka memanfaatkan basis petahana melalui jaringan dinasti politik baik keluarga maupun organisasi masyarakat yang memiliki pengaruh kuat di daerahnya,” ujar Nyarwi.
Arena politik berbeda
Arena politik DPD dengan DPR juga dinilai berbeda. Pemilihan anggota DPR menggunakan sistem proporsional daftar terbuka yang daerah pemilihannya berbasis gabungan kabupaten/kota. Sementara DPD menggunakan sistem mayoritarian dengan daerah pemilihan berada pada level provinsi.
Selain itu, Nyarwi juga menyampaikan, DPR dan DPD memiliki peluang "pasar" yang berbeda. Dalam pemilihan anggota DPD, dengan cakupan wilayah yang lebih luas dan tidak terikat pada partai politik tertentu, maka aspek personal jauh lebih menentukan.
“Kalau DPR itu juga personal tapi ada kontribusi partai. Jadi, jika partai itu kuat di suatu daerah, meski calon legislatif tidak begitu populer, pemilih akan melihat partai dan banyak yang tertolong dengan itu,” ujarnya.
Selain itu Nyarwi menilai, keterpilihan sejumlah caleg berusia muda karena didukung mesin politik berbasis politik kekerabatan, menunjukkan mereka hanyalah representasi generasi politik baru yang tidak banyak membawa perubahan.
“Mereka bukan merepresentasikan peluang tumbuhnya anak muda generasi politik baru yang bisa memberikan arah perubahan politik baru bagi negeri ini,” kata Nyarwi.
Komunikasi politik
Caleg DPR petahana yang kembali terpilih, Charles Honoris menyampaikan keterpilihannya kembali disebabkan oleh kinerjanya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, masa reses pun menjadi poin penting untuk menemui masyarakat di berbagai daerah pilihan.
“Selama 4,5 tahun sampai saat ini punya rumah konstituen yang berfungsi untuk menerima aspirasi dan pengaduan. Permasalahan yang memang belum tentu menjadi kewenangan DPR RI, misalnya Kartu Jakarta Pintar itu kami lakukan pendampingan atas pengaduan masyarakat,” kata Charles.
Begitu pula dengan caleg DPR non-petahana, Eddy Soeparno menilai keterpilihannya dikarenakan kedekatan dengan masyarakat yang ditemui secara langsung. Selain itu, dia juga sudah memetakan isu di daerah pilihannya sehingga apa yang disampaikan kepada masyarakat sesuai dengan keresahan warga.
Caleg DPD non-petahana, Jimly Asshiddiqie menyampaikan, ia bisa terpilih karena menyuarakan keinginan untuk membawa perubahan nyata bagi kerja DPD yang selama ini dinilai belum membawa perubahan bagi daerah.
Menurut dia, selama 15 tahun tidak ada mekanisme kinerja DPD mewakili kepentingan daerah sehingga pemerintah daerah merasa DPD tidak berfungsi. “Ini salah satu isu yang mau saya bawa dalam mewujudkan perubahan DPD,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.