Karyawan Kompas Gramedia memberikan penghormatan terakhir kepada salah satu perintis harian Kompas, Polycarpus Swantoro, di lobi Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019) pagi.
Oleh
·3 menit baca
Polycarpus Swantoro telah menjadi sejarah bagi Kompas. Karena itu, janganlah sampai kita melupakannya. Itulah kiranya janji yang boleh kita ucapkan untuk mengantar kepergiannya.
JAKARTA, KOMPAS — Karyawan Kompas Gramedia memberikan penghormatan terakhir kepada salah satu perintis harian Kompas, Polycarpus Swantoro, di lobi Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019) pagi. Siang harinya, jenazah almarhum yang akrab dipanggil Pak Swan dimakamkan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
Suasana duka kental terasa. Anak sulung Swantoro, Nurbertus Nuranto, seusai pemakaman tak banyak bicara. Dengan terbata, ia berterima kasih tak terhingga kepada keluarga, kerabat, kenalan, dan karyawan Kompas Gramedia yang telah membantu dari awal kepulangan Swantoro hingga proses pemakaman ayahnya selesai.
Swantoro, salah satu perintis harian Kompas, meninggal hari Minggu, 11 Agustus 2019, dalam usia 87 tahun. Almarhum berpulang saat sedang terlelap di samping istrinya, Rosa Antonia Kusmardijah, di kediaman mereka, Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Menurut Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas sekaligus CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama, sosok Swantoro tidak bisa dilepaskan dari Kompas Gramedia. Dia bersama PK Ojong dan Jakob Oetama sejak awal bahu-membahu membesarkan Kompas.
Karena itu, jenazah Swantoro sengaja disemayamkan di Gedung Kompas Gramedia untuk memberikan kesempatan semua karyawan menyampaikan penghormatan terakhir. ”Bagi perusahaan, jenazah Pak Swan disemayamkan di Kompas Gramedia sebagai penghormatan atas jasa-jasanya,” kata Lilik.
Sebelum dibawa ke tempat peristirahatan terakhir, jenazah dilepas dalam misa yang dipimpin Uskup Mgr Blasius Pujaraharja dari Keuskupan Ketapang didampingi Romo Sindhunata dari Yogyakarta dan Romo Lasbert Livinus Sinaga dari Paroki Slipi.
Biji sesawi
Romo Sindhu menyebut Swantoro adalah generasi awal Kompas. Ia setia sampai usianya tidak memungkinkan lagi menjalankan pengabdiannya.
Menurut Romo Sindhu, Swantoro memandang Kompas sebagai biji sesawi. Kata Injil, ”Biji sesawi itu paling kecil dari segala jenis benih. Tetapi, apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Jasa terbesar Swantoro untuk Kompas, menurut Romo Sindhu, ada dua. Pertama, memberi contoh bahwa wartawan itu harus membaca. Buku adalah pegangan utama bagi kewartawanannya. Kedua, Swantoro berjasa membuat jurnalisme Kompas sebagai jurnalisme sejarah.
Tulisan Swantoro sarat dengan nada-nada sejarah yang profetik. ”Jurnalisme sejarahnya sungguh memberi warna dan kedalaman bagi jurnalisme humanistik yang telah diletakkan oleh Pak Ojong dan Pak Jakob,” ujar Romo Sindhu.
Bersama jurnalisme sejarah, wartawan Kompas dapat selalu mengingatkan politikus dan penguasa. Terlebih manusia-manusia politik adalah yang paling keras kepala menolak sejarah.
”Pak Swan telah menjadi sejarah bagi Kompas. Karena itu, janganlah sampai kita melupakannya. Itulah kiranya janji yang boleh kita ucapkan untuk mengantar kepergiannya,” ujar Romo Sindhu. (VAN/RYO)