Daulat Seni demi Ibu Pertiwi
Seniman dan petani lembah lima gunung di Jawa Tengah memaknai seni sebagai ruang ekspresi yang memerdekakan. Alih-alih memburu reputasi, mereka memilih berdaulat, setia menghidupi seni dalam kearifan lokal.
Dua belas penari berkostum dan riasan serba merah-putih bersiap di pelataran gapura Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (11/8/2019). Enam anak menari Geculan Bocah dan sisanya menari Soreng, dua tari rakyat khas lereng Gunung Merbabu dan Merapi.
Penari Geculan Bocah aktif bergerak, meliuk dan berputar. Mereka juga mengulum dua jambu kecil hingga pipinya menggembung.
”Kami antusias menyiapkan perayaan HUT Ke-74 RI. Padahal rencana latihan menari diumumkan pada Jumat (9/8) malam, tetapi pada Minggu siang kami sudah siap,” ujar Riyadi, seniman Komunitas Lima Gunung (KLG) dari Kecamatan Pakis. Riasan para penari selaras dengan gapura yang sudah dihias senada alam, memanfaatkan jerami dan dedaunan.
Penari di Desa Banyusidi itu merupakan anggota KLG, jejaring komunitas petani seniman di desa-desa lereng gunung dan perbukitan di Magelang dan sekitarnya. Lima gunung dan bukit itu meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Bukit Menoreh.
Sejak 2002, mereka aktif berkesenian di tengah rutinitas sebagai petani sayuran. Selama 17 tahun, Festival Lima Gunung digelar setiap tahun. Tak seperti pertunjukan seni pada umumnya, mereka tak berupaya mencari keriuhan dan penonton. Festival ini pun tidak tergantung donasi dan tak membawa misi dari kelompok tertentu.
Dalam laku seni, orientasi mereka merawat kearifan lokal dalam kebersahajaan. Dorongan itu yang membuat tidak ada kata ”harus” dalam berkesenian. Tari Soreng khas lereng Gunung Merbabu, misalnya, tidak selalu dibawakan 12 orang. Keterbatasan ruang dan personel membuat tarian itu pernah ditampilkan hanya tiga penari.
Dalang Sih Agung Prasetyo, salah satu anggota KLG, juga mengaku tidak selalu pentas lengkap dengan wayang kulit dan gamelan. Dia pernah menampilkan cerita wayang hanya dengan memainkan daun dan mengiringi dengan bunyi-bunyian dari mulutnya.
Kondisi itu bisa terjadi karena para seniman tak menganggap dirinya lebih penting ketimbang seni itu sendiri. Seni adalah cara mereka merawat hidup. Dengan begitu, mereka biasa menyesuaikan dengan setiap keterbatasan. Hal itu mulai dari kemampuan keuangan kelompok, keuangan pengundang, hingga sarana prasarana yang tersedia. Seniman KLG terbiasa tampil dengan sarana seadanya, tetapi bukan berarti kemudian tampil seadanya juga. Keterbatasan itu justru melecutkan ide dan kreativitas baru.
Melecut kreativitas
Ismanto, seniman instalasi dan patung di Desa Sengi, Magelang, mengatakan, karena keterbatasan dana dalam penyelenggaraan Festival Lima Gunung (FLG), dia terbiasa membuat instalasi panggung berbahan alam, seperti jerami, dedaunan kering, pelepah, dan sabut kelapa. ”Banyak orang bilang, ide saya ini luar biasa kreatif. Padahal, awalnya didasari pertimbangan karena waktu itu saya tidak punya uang,” ujarnya sembari terkekeh.
Instalasi yang dibuat Ismanto dipuji kalangan luas. Bak virus, ide memanfaatkan bahan-bahan alam ditiru dan merebak ke seniman di Wonosobo, Klaten, dan Cilacap. Oleh para seniman lainnya, bahan-bahan murah dan mudah didapat dari alam ini juga digunakan untuk merancang kostum. Mereka juga memanfaatkan barang bekas, termasuk bungkus plastik makanan yang disulap menjadi kostum tari.
Kebersahajaan membentuk darah seniman yang digembleng alam pegunungan. Sejak kecil, mereka menguasai tradisi kesenian, seperti jatilan atau kuda lumping, yang kemudian menjadi akar kesenian KLG.
Memaknai seni sebagai sarana bersyukur kepada Sang Pencipta, pentas para seniman KLG tak pernah menargetkan riuh penonton. Pentas pernah dilakukan pada tengah malam, dini hari, bahkan pada pagi buta di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid. Pada 2010, pembukaan FLG ke-10 dilakukan pada pukul 04.00 di Puncak Suroloyo di kawasan Menoreh, di ketinggian 1.019 meter di atas permukaan laut.
Dalam setiap pementasan, seniman dan warga selalu memberi aplaus meriah. Di antara seniman itu, tak ada perasaan untuk berkompetisi menjadi yang terbaik. Masing-masing enggan mencela karena omongan negatif akan menghambat kemerdekaan seseorang dalam berkesenian. Mereka lebih menghargai proses ketimbang hasil.
Tanpa donasi
Dalam manajemen pertunjukan, butuh waktu bagi KLG yang terbentuk atas prakarsa budayawan Sutanto Mendut pada 2002 itu untuk menemukan roh kemerdekaan. Pada gelaran FLG 2002-2004, acara masih tergantung sumbangan donatur. Ketergantungan itu ditinggalkan karena mengganggu. ”Sumbangan membuat kami hanya berpikir melulu tentang uang. Kami jadi berpikir bagaimana sumbangan bisa dibagi adil bagi para seniman penampil. Kami jadi tidak bisa berpikir dan berlatih optimal,” ujar Ketua KLG Supadi Haryanto.
Dari pengalaman itu, seniman KLG memilih mandiri. Setiap penyelenggaraan FLG dan setiap kegiatan seni di desa, semua murni berasal dari cucuran keringat seniman dan warga yang mayoritas petani.
Kebersamaan dalam intensitas kegiatan itulah yang terus merekatkan mereka. Bahkan erupsi Gunung Merapi yang melanda wilayah mereka pada 2011 tak menyurutkan gelaran FLG ke-10 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan. Padahal dusun itu ikut terdampak erupsi.
Saat itu, aktivitas pertanian dan perekonomian warga belum pulih karena tanaman sayuran tertutup abu vulkanik. Kondisi ini tak mengurangi niat mereka untuk beriuran Rp 25.000 per keluarga. Mereka juga memasak dan menyiapkan aneka kudapan untuk menjamu seniman serta pengunjung.
Guna mengabadikan nilai hidup para seniman petani lembah lima gunung, Sutanto meresmikan Museum Lima Gunung di belakang rumahnya di Kecamatan Mungkid, Februari lalu. Di dalamnya ada berbagai macam koleksi karya para seniman, antara lain patung, topeng, wayang, lukisan, kostum tarian, alat musik, buku, foto, dan kliping pemberitaan berbagai media massa. ”Museum ini tak hanya mengoleksi hal material, tetapi juga merekam cara berpikir dan nilai kehidupan para seniman petani,” katanya.
Di museum tertulis kutipan seniman kawakan di Merbabu almarhum Mbah Dargo, ”Seni yen apik ora iso ditiru, elek ora iso dicacat.” Maknanya, seni saat bagus tak bisa ditiru, tapi saat terlihat buruk tak bisa dikritik. Pada akhirnya, dalam KLG, seni jadi jalan petani untuk merayakan kemerdekaan hidup.