JAKARTA, KOMPAS — Wawasan, gagasan, dan praktik yang konsisten mencari jalan keluar terbaik bagi permasalahan di masyarakat menjadi landasan pemberian Penghargaan Achmad Bakrie XVII. Salah satu pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai bisa mengembangkan sistem jurnalisme yang memungkinkan bertahan di masa pemerintahan otoriter.
"Sistem \'jurnalisme kepiting\' membuat Kompas bisa tetap ada di masa Orde Baru. Sekaligus juga kemampuan untuk mengembangkan kelompok usaha yang dinamis di tengah situasi ekonomi tidak menentu," kata Ketua Pelaksana Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) XVII A Ardiansyah Bakrie pada malam pemberian penghargaan di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Wakil Pemimpin Umum Kompas Rikad Bagun yang hadir mewakili Jakob Oetama mengatakan bahwa istilah "jurnalisme kepiting" diutarakan oleh tokoh pers nasional Rosihan Anwar sebagai kritik kepada harian Kompas mengenai cara pemberitaan yang maju, tetapi bisa mundur ketika menghadapi rintangan. Prinsip ini merupakan jurnalisme untuk bertahan hidup mengingat sejarah surat kabar ini pernah dua kali dibredel.
Mengutip Jakob Oetama, Rikad mengatakan bahwa koran yang mati tidak bisa berjuang. Prinsip jurnalisme yang dianut ialah memberi makna, tetapi tetap terpaut pada etika. "Tidak semua kebenaran bisa diungkap karena ada pertimbangan etika, namun semua yang ditulis oleh wartawan harus berlandaskan kebenaran," tuturnya.
Tidak semua kebenaran bisa diungkap karena ada pertimbangan etika, namun semua yang ditulis oleh wartawan harus berlandaskan kebenaran
Menurut dia, hal ini tetap relevan di tengah era disrupsi digital yang melalui berbagai kanal memberi kegaduhan di masyarakat. Sejatinya, media massa berbeda dari media sosial karena bertanggung jawab sebagai pemberi suara, bukan pembuat gaduh.
"Tugas media adalah mencari kebenaran, bukan mengklaim benar. Pada praktiknya, prinsip boleh keras, namun caranya boleh halus mengingat ada etika yang dijaga," ujar Rikad.
Pemikiran sosial
Direktur Freedom Institute Rizal Mallarangeng yang bertindak sebagai ketua dewan juri mengatakan, dalam pemberian penghargaan, elemen jurnalisme dan pemikiran sosial dimasukkan menjadi kategori baru. Hal ini karena selain ilmu pasti, perubahan di masyarakat juga dipengaruhi oleh wawasan dan opini publik yang dipengaruhi oleh jurnalisme.
Para penerima PAB yang lain adalah penulis Ashadi Siregar untuk kategori Sastra Populer. Menanggapi hal ini, Ashadi mengungkapkan tidak memahami istilah sastra populer karena bukan ranah penulis untuk memikirkannya. Ia berprinsip ketika menulis menggunakan medium cerita fiksi sebagai penyampai realita dalam lingkup waktu tertentu.
"Novel Cintaku di Kampus Biru misalnya, memotret dunia pergerakan dan pemberontakan mahasiswa di tahun 1970-an. Disimbolkan dengan celana denim berwarna biru yang di masa itu dianggap nyeleneh dan tidak sopan," paparnya.
Konsisten di lapangan
Adapun penghargaan di bidang kedokteran dan sains diberikan kepada Guru Besar Emeritus Bidang Kedokteran Anak Universitas Padjajaran Anna Alisjahbana dan Kepala Program Studi Fisika Universitas Indonesia Anawati. Anna merupakan pencetus perangkat Deteksi Dini Tumbuh Kembang untuk memungkinkan para orangtua dari wilayah rentan seperti pedesaan memantau perkembangan anak-anak mereka.
"Kesenjangan mutu tumbuh kembang anak kota dengan desa luar biasa. Orangtua mereka mayoritas semi literasi. Bisa membaca, tetapi tidak mengerti hal yang dibaca. Butuh pendidikan orangtua yang konstan mengenai tumbuh kembang anak," kata Anna.
Anna mengatakan, masuknya teknologi tidak membawa perbaikan mutu hidup karena masyarakat belum mengetahui cara pemanfaatannya. Kecenderungan di lapangan justru teknologi mengakibatkan masyarakat memilih hal-hal instan, termasuk makanan, untuk konsumsi bagi anak.
"Salah satu hal yang saya kampanyekan adalah membuat bubur dan makanan anak dari pangan lokal," katanya.
Sementara itu, Anawati sejak 2003 konsisten mengembangkan sistem penyaringan air tanah bagi para penduduk di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Maraknya pertambangan liar membuat air tanah kawasan itu tercemar logam berat sehingga dibuat penyaring air berbasis material anodik oksida yang memanfaatkan limbah sabut kelapa.
"Penyaring dipasang di sumber-sumber air masyarakat. Sebenarnya, lebih efektif jika dipasang di titik pembuangan limbah tambang, tetapi hal ini sukar dilakukan karena pemetaan tambang liarnya tidak ada," tuturnya.