Kerja Sama KPK dan Kompas Institute: Menulis Antikorupsi dengan Gaya Populer
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kompas Institute menggelar lokakarya bertajuk ”Menarasikan Laporan dan Data dalam Penulisan Populer”. Sebanyak 16 akademisi dari 16 perguruan tinggi dilatih menulis kajian antikorupsi dengan gaya populer.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Kompas Institute menggelar lokakarya bertajuk ”Menarasikan Laporan dan Data dalam Penulisan Populer”. Lokakarya bertujuan agar masyarakat umum dapat lebih mudah memahami kajian antikorupsi.
Dari keterangan pers yang diterima Kompas, Kamis (15/8/2019), lokakarya diselenggarakan di Hotel Ibis Styles, Denpasar, Bali, 14-15 Agustus 2019.
Peserta lokakarya berjumlah 16 orang. Mereka berlatar belakang akademisi yang telah lolos serangkaian persyaratan. Salah satunya, mengirimkan kerangka tulisan yang akan dikembangkan menjadi artikel antikorupsi.
Para akademisi ini juga merupakan champion antikorupsi lintas disiplin ilmu dan menjadi perwakilan dari 16 universitas, sekolah tinggi, institut, dan politeknik, yang berada di Bali, Surabaya, Malang, Jember, dan Madura.
Para akademisi tersebut juga aktif dalam kegiatan antikorupsi dengan menjadi dosen mata kuliah antikorupsi, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) ataupun menjadi penyuluh antikorupsi.
Menulis opini itu bukan mengajari pembaca, melainkan mengungkapkan perspektif Anda kepada masyarakat.
Hadir sebagai narasumber dalam lokakarya tersebut, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Head of Program Kompas Institute Sulyana Andikko; peneliti kajian sosial, politik, dan budaya Litbang Kompas, Irene Purwananti; dan jurnalis Harian Kompas, Putu Fajar Arcana.
Laode M Syarif menyatakan, lokakarya terselenggara karena adanya kebutuhan untuk mengomunikasikan kajian antikorupsi dengan gaya yang lebih populer. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami inisiatif antikorupsi yang disuarakan para akademisi.
”KPK ingin mendorong para akademisi, khususnya yang tergabung dalam jaringan akademisi antikorupsi, agar dapat memublikasikan hasil kajiannya tidak hanya di lingkungan kampus dan dunia pendidikan, tetapi juga kepada masyarakat luas,” tutur Laode.
Untuk bisa menulis, lanjutnya, akademisi dituntut untuk banyak membaca. Ia juga menyarankan kepada peserta untuk menemukan sumber inspirasi dan mengenali suasana hati yang akan membuat seorang penulis produktif.
”Menulis opini itu bukan mengajari pembaca, melainkan mengungkapkan perspektif Anda kepada masyarakat,” katanya.
Saat ini, menurut Laode, artikel dan tulisan ilmiah populer tentang berbagai aspek pemberantasan korupsi masih sedikit jumlahnya. Melalui lokakarya ini, peserta dibekali pengetahuan untuk mengatasi keterbatasan dalam menyajikan data hasil kajian ilmiah ke dalam bentuk artikel dan tulisan ilmiah populer.
Selain itu, peserta lokakarya diwajibkan untuk mempublikasikan minimal dua tulisan tentang antikorupsi di media massa setelah pelatihan. Harapannya, tulisan-tulisan ilmiah populer tersebut dapat dibaca masyarakat luas.