Melacak Para Penyintas Tragedi Maut di Nduga
Kepolisian mengamankan saksi mata dan korban selamat dalam insiden penyerangan 28 pekerja Istaka Karya di Kampung Yigi, Kabupaten Nduga. Wartawan Kompas, Fabio Maria Lopes Costa, menelusuri keberadaan para penyintas tragedi Yigi tersebut untuk mendapatkan kesaksian mereka.
Waktu menunjukkan pukul 00.00 WIT ketika saya dibangunkan istri yang mendengar telepon seluler saya berbunyi. Malam itu, Senin (3/12/2018), rupanya tidur saya sangat lelap sehingga 10 kali panggilan telepon dari kantor di Jakarta berlalu begitu saja. Saya kemudian menelepon balik pimpinan Desk Nusantara Harian Kompas.
Mereka meminta klarifikasi terkait pemberitaan sejumlah media daring yang mengabarkan 31 pekerja PT Istaka Karya dibunuh setelah disandera kelompok kriminal bersenjata (KKB) Egianus Kogoya di Kampung Yigi, Kabupaten Nduga.
Saya pun segera menelepon Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal di Jayapura pada Selasa dini hari. Ternyata beliau belum beristirahat karena masih mencari informasi terkini terkait penyerangan pekerja Istaka Karya di Nduga.
Akhirnya, saya bisa mendapatkan informasi awal terkait peristiwa ini yang kemudian termuat di harian Kompas. Kasus ini mengentak publik Papua dan masyarakat daerah lain di Indonesia.
Aparat gabungan TNI dan Polri membentuk tim bersama untuk melacak keberadaan para pekerja itu. Ternyata jumlah korban meninggal bukan 31 orang, melainkan 28 orang.
Aparat keamanan berhasil menyelamatkan tujuh pekerja, sedangkan 17 pekerja lain ditemukan meninggal di Bukit Kabo di Kampung Yigi. Adapun empat pekerja lainnya belum ditemukan hingga kini.
Upaya evakuasi korban selamat, selain dilakukan terhadap pekerja, juga kepada warga Yigi dan sejumlah kampung lain. Mereka dibawa ke Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dan Timika, ibu kota Kabupaten Mimika.
Oleh karena sudah ada wartawan harian Kompas dari Jakarta yang diterjunkan ke Timika, yakni Muhammad Iksan Mahar, saya tidak ditugaskan ke Timika atau Wamena untuk meliput proses evakuasi korban selamat ataupun yang meninggal.
KKB membunuh warga sipil yang tengah bekerja membangun jalan Trans-Papua dari Wamena ke Mamugu sepanjang 274 kilometer.
Meski demikian, saya tetap memantau perkembangan evakuasi melalui informasi Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih di Jayapura. Pada 6 Desember 2018, semua jenazah pekerja dipulangkan ke kampung halaman masing-masing dari Bandara Moses Kilangin, Timika. Iksan kemudian kembali ke Jakarta.
Kejadian ini mengundang respons berbagai pihak. Masyarakat di Jayapura dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengecam keras insiden tersebut. KKB membunuh warga sipil yang bekerja membangun Jalan Trans-Papua dari Wamena ke Mamugu sepanjang 274 kilometer.
Ditugaskan ke Timika
Sehari setelah pemulangan 16 jenazah, saya mendapat tugas untuk berangkat ke Timika. Saya diminta meliput proses evakuasi empat pekerja yang belum ditemukan dan mencari kesaksian dari para pekerja yang selamat serta warga yang dievakuasi dari Yigi.
Pada 8 Desember 2018, saya tiba di Timika siang hari. Dengan menggunakan jasa ojek sepeda motor, saya langsung menuju Hotel Serayu.
Menurut informasi sejumlah pihak, warga yang dievakuasi dari Kampung Yigi dibawa petugas kepolisian ke hotel tersebut. Sementara salah seorang pekerja yang selamat dibawa untuk perawatan di Rumah Sakit Mitra Masyarakat.
Dari hasil pemantauan, warga menempati salah satu ruangan di lantai 2 hotel. Untuk menuju ke sana, harus melewati lantai 1 yang dijaga empat anggota bersenjata dari Brigade Mobil (Brimob).
Beberapa rekan wartawan di Timika yang lebih dulu hadir juga belum berhasil mendapatkan keterangan, baik dari warga maupun korban, karena ketatnya pengamanan oleh kepolisian.
Saya kemudian mencoba memperkenalkan diri dan mengungkapkan tujuan saya ke hotel tersebut kepada beberapa anggota Brimob yang berjaga di lantai 1.
Mereka kemudian berkoordinasi dengan pimpinannya. Hasilnya, saya belum diizinkan mewawancarai warga karena mereka masih dalam pendampingan akibat trauma. Hal yang sama diberlakukan terhadap pekerja selamat yang dirawat di Rumah Sakit Mitra Masyarakat.
Setelah sejam lebih menunggu di Hotel Serayu, saya memilih kembali ke hotel. Meski begitu, saya tetap optimistis bisa memperoleh wawancara dengan orang-orang tersebut.
Saya kemudian mendengar informasi, salah satu perwira menengah dari Polda Papua, yakni Ajun Komisaris Besar Fernando Napitupulu, ditugaskan ke Timika untuk menjadi Pelaksana Tugas Kepala Polres Mimika. Ini karena Kepala Polres Mimika Ajun Komisaris Besar Agung Marlianto sedang mengikuti pendidikan di luar Papua.
Saya mengenal baik Fernando Napitupulu sejak ia bertugas di Direktorat Reserse Narkoba Polda Papua pada 2017. Kini, ia menjabat Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua.
Berbekal hubungan baik, saya mencoba menelpon Fernando untuk meminta akses mewawancarai salah seorang warga dan pekerja yang selamat. Ia pun meminta waktu untuk menghubungi pimpinan di Polda Papua terkait permintaan wawancara tersebut. Akhirnya, Fernando mendapatkan izin dari pimpinan.
Pada Minggu, 9 Desember 2018, Fernando mengajak saya bersama sejumlah wartawan di Timika untuk mewawancarai salah seorang warga Yigi yang menjadi saksi mata dalam insiden tersebut.
Kisah inspiratif
Kami kemudian bertemu dengan Endinus Tabuni yang bertugas sebagai tenaga kesehatan di Puskesmas Yigi. Pria berusia 34 tahun ini menyambut kami dengan hangat.
Endinus mengungkapkan, dirinya terpaksa keluar dari Yigi karena adanya penyerangan dari kelompok Egianus terhadap para pekerja Istaka Karya dan sejumlah warga sipil.
Baca juga : Malu kepada Suku Dayak
Sebelum melarikan diri bersama anaknya pada 2 Desember 2018 ke Distrik Mbua, Endinus sempat menyembunyikan dua pekerja bangunan yang bernama Diro dan Tono di rumahnya.
Saat itu, Egianus dan anak buahnya tidak hanya memburu pekerja Istaka Karya, tetapi juga pekerja infrastruktur lainnya.
Endinus rela mempertaruhkan nyawanya meski anggota kelompok Egianus mengancamnya dengan parang agar memberi tahu keberadaan kedua pekerja tersebut.
”Saya menyembunyikan mereka di ruang tidur. Saya tak mau kelompok Egianus membunuh kedua pekerja yang tak bersalah sama sekali,” ucap Endinus kepada saya.
Setelah mewawancarai Endinus, saya melanjutkan dengan wawancara di Rumah Sakit Mitra Masyarakat. Bersama Fernando dan sejumlah perwira dari Polres Mimika, kami menemui Martinus Sampe Pongliling.
Martinus adalah salah seorang pekerja PT Istaka Karya yang berhasil selamat dari kejaran kelompok Egianus Kogoya. Dengan tegar, Martinus mengungkapkan, dirinya selamat karena dikira telah mati oleh anggota kelompok kriminal bersenjata itu. Rupanya, dua kali tembakan ke arah Martinus hanya mengenai kakinya.
Ia bersama salah seorang temannya yang selamat bernama Jefri meninggalkan Bukit Kabo dengan meloncat ke jurang sedalam 10 meter.
Baca juga : Inspirasi dari Para Pemadam Api
Beruntung, keduanya sama sekali tidak mengalami cedera meski meloncat ke jurang. Kedua orang itu lantas berjalan kaki selama 6 jam hingga akhirnya tiba di Distrik Mbua.
Dalam perjalanan dari Mbua ke Wamena yang berjarak 90 kilometer, pada 3 Desember 2018 keduanya bertemu aparat keamanan yang kemudian menyelamatkan mereka.
”Saya sangat bersyukur peluru sama sekali tak mengenai kepala ataupun badan saya. Sungguh ini sebuah mukjizat dari Tuhan bagi saya,” ujar pemuda berusia 23 tahun ini.
Hasil wawancara terhadap Endinus dan Martinus di Timika termuat di harian Kompas terbitan 11 Desember 2018. Hingga kini, situasi keamanan di Nduga belum kondusif. Ribuan warga dari 12 distrik terpaksa mengungsi ke hutan di daerah Lanny Jaya dan Wamena.
Kelompok Egianus masih menebar teror terhadap aparat keamanan. Terakhir, seorang anggota TNI Angkatan Darat, yakni Prajurit Satu Anumerta Usman Helembo, gugur dalam kontak senjata dengan kelompok separatis bersenjata di Kampung Yuguru, Kabupaten Nduga, Papua, 20 Juli 2019.
Pada akhirnya, kekerasan bukanlah jalan keluar untuk mengatasi perbedaan pandangan politik di Nduga. Seperti kata almarhum Bunda Teresa, pejuang kemanusiaan dari India, ”Jika kita tidak memiliki kedamaian, itu karena kita melupakan bahwa kita tidak saling mengasihi satu dengan yang lain”.
Melalui liputan ini, saya menyaksikan mukjizat Tuhan yang melindungi Martinus dan betapa hebatnya perjuangan Martinus untuk bertahan hidup. Pelajaran lain yang saya petik adalah keberanian dan cinta kasih Endinus yang rela berkorban untuk kedua pekerja itu.