Uji coba perluasan ganjil genap yang telah berlangsung selama empat hari dinilai belum efektif mengurangi kemacetan dan polusi di Jakarta.
Oleh
Aguido Adri/Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uji coba perluasan ganjil genap yang telah berlangsung selama empat hari dinilai belum efektif mengurangi kemacetan dan polusi di Jakarta. Peraturan ganjil genap dianggap masih setengah hati karena belum siapnya integrasi antarmoda dan belum adanya pembatasan sepeda motor.
”Saya belum merasakan dampak dari perluasan ganjil genap. Sama saja, masih macet saat saya pergi dan pulang kerja. Peraturan ini juga tidak dibarengi dengan pembukaan rute baru atau penambahan armada transportasi,” tutur Yusuf Irianto (34), warga Ciracas, yang kerap menggunakan sepeda motor menuju kantornya di kawasan Merdeka Barat saat ditemui pada Kamis (15/8/2019).
Yusuf bukannya tidak mau naik transportasi umum. Namun, dari rumahnya di Ciracas, jaraknya lumayan jauh ke Stasiun Lenteng Agung. Sementara kalau naik bus Transjakarta, ia harus ke Halte Pasar Rebo terlebih dahulu.
”Itu masalahnya, enggak ada integrasi antarmoda menuju halte dan stasiun. Naik motor untuk efisiensi saja meski akhirnya terjebak macet juga,” lanjutnya.
Direktur Keselamatan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) John Roberto mengatakan, pihaknya belum melihat adanya penambahan jumlah penumpang kereta commuter line (KRL) sebagai dampak dari uji coba perluasan ganjil genap.
”Angka penumpang belum terlihat ada peningkatan sejauh ini,” kata John.
Berdasarkan data terakhir, Jumlah penumpang KRL yang dilayani oleh PT KCI sejak Januari hingga Juni 2019 sebanyak 163.857.605 orang. Khusus bulan April, PT KCI melayani sekitar 28 juta penumpang. Pada Mei 2019, sekitar 28,5 juta penumpang dan pada Juni sekitar 25,8 juta penumpang.
Hingga akhir 2019, KRL ditargetkan dapat melayani 343.540.736 penumpang atau naik 7,3 persen dibandingkan 2018. Untuk mencapai target itu, selain memberlakukan harga diskon pada waktu tertentu, layanan dan fasilitas transportasi akan terus ditingkatkan. Pada 17 Agustus 2019, misalnya, harga tiket KRL per orang hanya Rp 1 untuk semua tujuan.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, kondisi lalu lintas di Jakarta semakin padat dengan tingkat kemacetan yang makin parah. Selain kemacetan, kualitas udara di Jakarta juga kian pekat akibat polusi.
”Merujuk pada kondisi empirik seperti itu, maka perluasan area ganjil genap di Jakarta bisa dipahami. Implementasi ganjil genap di atas kertas bisa memangkas 40-45 persen jumlah kendaraan bermotor yang beredar di ruas jalan tersebut,” ujar Tulus.
Namun, sebaliknya, kata Tulus, jika penerapannya hanya setengah hati, perluasan area ganjil genap tidak akan efektif menekan kemacetan di Jakarta dan tidak akan mampu menekan tingginya polusi udara di Jakarta.
”Perlu memperkuat jaringan dan pelayanan transportasi umum, khususnya Transjakarta disterilkan jalurnya agar waktu tempuhnya makin cepat. Dan, adanya sarana transportasi pengumpan ke halte-halte Transjakarta yang lebih memadai,” ucapnya.
Menurut Tulus, penerapan yang setengah hati terindikasi dari tidak adanya aturan ganjil genap untuk sepeda motor. Pengecualian tersebut akan mendorong masyarakat pengguna roda empat berpindah ke sepeda motor.
”Motor seharusnya kena ganjil genap juga. Setidaknya untuk jalan protokol, seperti Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, dan Jalan Rasuna Said,” kata Tulus.
Pengecualian sepeda motor, lanjutnya, juga akan mengakibatkan polusi di Jakarta kian pekat. Menurut data Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, sepeda motor berkontribusi paling signifikan terhadap polusi udara di Jakarta, yaitu 19.165 ton polutan per hari atau 44,53 persen. Sementara mobil menyumbang polusi sebesar 16,11 persen, bus 21,43 persen, truk 17,7 persen, dan bajaj 0,23 persen.
Tidak hanya itu, upaya untuk menekan polusi udara juga akan gagal jika kendaraan di Jakarta masih menggunakan bahan bakar dengan kualitas rendah, seperti premium.
Perlu ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta untuk mendorong penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih ramah lingkungan.
”Sudah sangat pantas jika kota Jakarta melarang penggunaan BBM jenis bensin premium, bahkan pertalite. Dan mewajibkan kendaraan bermotor untuk menggunakan BBM standar Euro 4. Sebab, hanya dengan BBM standar Euro 4, kualitas udara di Jakarta bisa diselamatkan,” lanjutnya.
Pengecualian sepeda motor akan mengakibatkan polusi di Jakarta kian pekat.
Selain itu, menurut Tulus, wacana pengecualian untuk taksi daring juga merupakan langkah mundur, bahkan merupakan bentuk inkonsistensi. Pengecualian ini akan memicu masyarakat berpindah ke taksi daring serta upaya mendorong masyarakat berpindah ke angkutan massal, seperti Transjakarta, MRT, dan KRL, akan gagal.
”Taksi online tetap diberlakukan sebagai obyek ganjil genap. Sebab, taksi online adalah angkutan sewa khusus berpelat hitam, setara dengan kendaraan pribadi, kecuali taksi online mau berubah ke pelat kuning,” kata Tulus.