MOSKWA, KAMIS - Rusia mengklaim telah unggul atas Amerika Serikat dalam pembuatan senjata setelah mengumumkan pengembangan senjata nuklir canggih baru pada 2018. Kompetisi antara kedua negara memasuki fase baru sebab perjanjian kontrol senjata berakhir.
“Presiden kami telah berulang kali mengatakan, teknik Rusia di sektor ini secara signifikan melampaui tingkat yang telah dicapai negara-negara lain, dan ini cukup menarik,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, Selasa (13/8/2019).
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pidato kenegaraan 2018 menyatakan, Rusia sedang mengembangkan senjata nuklir baru yang tak terkalahkan. Hal itu termasuk rudal jelajah bertenaga nuklir, pesawat nirawak bawah air bertenaga nuklir, dan senjata laser.
Salah satu jenis rudal yang sedang dikembangkan adalah Burevestnik 9M730 (Storm Petrel) yang dinyatakan akan memiliki jangkauan tanpa batas dan dapat menembus sistem pertahanan apapun. Negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menetapkan rudal itu sebagai SSC-X-9 Skyfall.
Klaim keunggulan itu muncul meskipun terjadi insiden ledakan dalam uji coba rudal Burevestnik di Laut Putih, utara Rusia, pekan lalu. Badan nuklir negara Rusia, Rosatom, menyatakan, sebanyak lima orang meninggal dunia dan tiga orang lainnya luka-luka.
Kantor berita Rusia, TASS, melaporkan, petugas petugas medis yang menangani korban menandatangani perjanjian agar tidak mengungkapkan penyebab kecelakaan. Selain itu, tingkat radiasi di Severodvinsk yang terletak 40 kilometer dari lokasi uji coba naik 16 kali lipat.
Seorang pejabat senior Gedung Putih mengatakan, ledakan itu dapat menunjukkan kemunduran yang signifikan bagi program nuklir Rusia. Namun, AS belum mengetahui dengan jelas apakah insiden disebabkan oleh kegagalan peluncuran atau hal lain.
“Kami sedang mempelajari insiden ledakan tersebut. AS juga memiliki teknologi yang sama, bahkan lebih maju (dari yang dikembangkan Rusia),” ujar Presiden AS Donald Trump.
Ketegangan meningkat
Ketegangan antara Moskwa dan Washington mengenai kontrol pengembangan senjata memburuk karena Pakta Senjata Nuklir Jarak Menengah (INF Treaty) berakhir pada 2 Agustus 2019. Rusia juga prihatin bahwa perjanjian kontrol senjata penting lainnya dengan AS akan segera berakhir.
“AS akan fokus mengembangkan senjata jarak menengah yang berarti perang habis-habisan. Militer Rusia akan menginginkan kemampuan yang sama karena khawatir mengenai China,” kata Peneliti Royal United Services Institute (Rusi), Mark Galeotti, dikutip dari BBC.
AS akan fokus mengembangkan senjata jarak menengah yang berarti perang habis-habisan. Militer Rusia akan menginginkan kemampuan yang sama karena khawatir mengenai China.
Berakhirnya kontrol senjata antara Rusia dan AS sejak masa Perang Dingin akan menambah keriuhan pengembangan senjata nuklir global saat ini. Negara lain yang kini aktif mengembangkan senjata nuklir adalah China, Korea Utara, dan Iran.
“Jika tidak ada pelucutan nuklir, akan ada penyebaran. Jika kekuatan besar berlomba untuk membangun gudang senjata mereka, kekuatan yang lebih kecil akan mengikuti,” tutur pengamat nuklir Ploughshares Fund, Joseph Cirincione dikutip dari The New York Times.
Konsekuensinya, negara-negara akan menghabiskan anggaran militer lebih besar di masa depan. Tentunya, hal ini juga akan memengaruhi keamanan dan kestabilan dunia. (Reuters)