Sejak sebulan terakhir, berbagai pemberitaan tentang Pulau Papua muncul di media Barat dan Jepang. Media Jepang, seperti Asahi Shimbun, menyoroti rencana pemulangan ribuan kerangka serdadu Jepang yang gugur dalam pertempuran melawan Tentara Amerika Serikat di Biak dan beberapa daerah di Papua pada tahun 1944
Oleh
Iwan Santosa
·6 menit baca
Sejak sebulan terakhir, berbagai pemberitaan tentang Pulau Papua muncul di media Barat dan Jepang. Media Jepang, seperti Asahi Shimbun, menyoroti rencana pemulangan ribuan kerangka serdadu Jepang yang gugur dalam pertempuran melawan Tentara Amerika Serikat di Biak dan beberapa daerah di Papua pada tahun 1944 sebagai rangkaian dari Operasi Lompat Katak yang dilancarkan Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya Sekutu Jenderal Douglas MacArthur untuk mengalahkan Jepang.
Ketua tim penulis buku Biak Debris of War, Evy Aryati Arbay, mengantarkan rombongan media Jepang ke Biak dan Supiori untuk melihat lokasi ribuan serdadu Jepang disemayamkan di beberapa titik yang berada tidak jauh dari lokasi pertempuran berdarah di Biak, 27 Mei-20 Juni 1944.
Buku Biak Debris of War itu menjadi salah satu penanda dalam peringatan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Republik Indonesia-Kerajaan Jepang yang jatuh pada tahun 2020.
Pertempuran di Pulau Biak tersebut mengakibatkan Jepang kehilangan lebih dari 5.000 prajurit. Sementara pihak Sekutu, terutama Amerika Serikat, kehilangan lebih dari 500 prajurit gugur.
Strategi Jepang di Biak adalah membiarkan musuh mendarat ke pedalaman, lalu menerapkan taktik gempuran terhadap Sekutu dari perkubuan di perbukitan serta jaringan gua dan terowongan di pedalaman dekat Paray.
Strategi itu dianggap mampu menimbulkan korban dan menguras sumber daya lawan sehingga diterapkan di mandala Pasifik, seperti di Iwo Jima dan Okinawa, yang diabadikan dalam film-film layar lebar Hollywood, seperti Wind Talker, Flag of Our Fathers, Sand of Iwo Jima, dan Letters from Iwo Jima.
Pulau Biak dan Pulau Papua, yang dalam catatan arsip Jepang dari Museum Perang Pasifik di Iwate, Honshu, disebut sebagai Pulau Kura-Kura dan Pulau Anak Kura-Kura, adalah titik strategis di kawasan Pasifik Barat Daya.
Dalam naskah buku Biak Debris of War disebutkan, Jepang hampir mengerahkan kapal perang (battle ship) Yamato, yakni kapal perang terbesar di dunia untuk melakukan perang puputan atau kantai kessen untuk melawan Amerika Serikat di Biak.
Namun, di menit terakhir, armada Yamato dan beberapa kapal perang pengiring yang berangkat dari Kepulauan Bacan, Maluku Utara, berbelok meninggalkan Biak menuju ke arah utara Pasifik.
Pangkalan militer dan tambang
Pada tahun 1884 di era kebangkitan Prusia di masa Perdana Menteri Otto Von Bismarck, Kekaisaran Prusia (Jerman), seperti kekuatan dunia lainnya, berlomba menguasai daerah strategis. Jerman pun menguasai wilayah Niugini yang kini menjadi bagian utara Papua Niugini.
Adapun wilayah selatan dikuasai Inggris melalui pemerintahan Persemakmuran Australia. Wilayah barat dikuasai Belanda yang kini dikenal sebagai wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Bahkan, penjelajah Rusia, Nikolay Miklukho-Maklay yang monumennya terdapat di Pusat Kebudayaan Rusia di Jakarta, melakukan penjelajahan penting di Papua dan Niugini di tahun 1880-an yang kini masuk wilayah dua negara berbeda.
Nilai strategis Pulau Papua dan keragaman penduduknya memang penting. Nikolay Miklukho-Maklay yang kemudian bermukim di Sydney, Australia, sangat menentang perbudakan dan bertekad melindungi keragaman masyarakat asli Papua dan Niugini.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, potensi pertambangan sudah ditemukan di Pulau Papua. Pihak Jerman sudah mengadakan survei tambang dan menemukan deposit emas.
Ketika Perang Dunia I pecah, wilayah Niugini yang semula dikuasai Jerman segera diambil alih Inggris. Seusai Perang Dunia I, Jepang sebagai sekutu Inggris mendapat wilayah eks-Jerman, yakni Kepulauan Marshall, Kepulauan Caroline, dan Kepulauan Mariana.
Segeralah pangkalan-pangkalan militer dibangun pihak Jepang yang menguasai Yap, Truk, dan untaian pulau-pulau di utara Papua. Pihak Australia yang mengambil alih wilayah Jerman membuka tambang emas di Bulolo serta membangun jaringan bisnis dan pos pertahanan.
Amerika Serikat sebagai salah satu negara pemenang dalam Perang Dunia I juga membangun jaringan transportasi di wilayahnya di Pasifik Barat Daya yang menjadi tempat transit penerbangan dan pelayaran kapal dari Manila ke Hawaii–San Francisco. Wilayah Pulau Guam dekat Pulau Papua dan Pulau Wake menjadi pangkalan militer strategis. Maskapai Pan AM melayani jalur tersebut.
Sejarah berulang
Semasa Perang Dunia II, dinamika kawasan Pasifik Barat Daya, terutama di sekitar Pulau Papua, kembali bergolak dengan serbuan Jepang ke Pearl Harbour serta dari pangkalan Jepang di Pasifik ke wilayah Sekutu termasuk Papua yang masuk wilayah Hindia Belanda dan Australia. Perang pun usai, Jepang terusir dari Kepulauan Mariana, Kepulauan Marshall, dan Kepulauan Caroline yang dikuasai pihak Amerika Serikat.
Bisnis perikanan dan pertambangan kembali berjalan di wilayah Papua. Pada tahun 1962, Indonesia merebut kembali wilayah Papua yang ketika itu diberi nama Irian Barat. Sementara Australia memberikan kemerdekaan atas Papua Niugini tahun 1976.
Sesudah tambang emas Bulolo, pertambangan juga berkembang di wilayah Papua, Indonesia. Pertambangan nikel dan emas juga dibuka di Kepulauan Bougainville di Papua Niugini yang kini mengadakan referendum setelah perang saudara di Bougainville tahun 1988-1998-an. Pengusaha Barat pemilik tambang emas dan tembaga di Bougainville tetap menangguk keuntungan dari perang antara warga asli Bougainville dan pihak penguasa Papua Niugini di Port Moresby.
Kondisi Perang Dingin dan perebutan pengaruh di kawasan memicu keberadaan pangkalan-pangkalan militer di sekitar Papua. Australia dan Selandia Baru yang secara tradisional menjadi patron bagi negara-negara sekitarnya, seperti Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Tonga, Fiji, dan Samoa, mengadakan latihan militer hingga melakukan beberapa kali intervensi terhadap kondisi politik di negara tetangga mereka yang tersebar di Pasifik Selatan Barat Daya.
Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat pun turut menjaga keberadaan pangkalan militernya di Guam dan Palau yang berada di sebelah utara Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat. Pangkalan tersebut membentang di barat Pasifik ke arah Filipina berkat kerja sama penggunaan pangkalan Subic, Clark, Palawan, dan Zamboanga hingga ke Okinawa, Sasebo di Kyushu dan Yokosuka di Tokyo serta Komando Militer Amerika Serikat di Korea Selatan.
Pergolakan dan serangan kelompok separatis dan kelompok kriminal bersenjata di Papua wilayah Indonesia serta kekerasan di wilayah Papua Niugini turut menambah pelik situasi kawasan. Kasus kekerasan di Nduga dan berbagai laporan tentang kekerasan di wilayah Papua dan Papua Barat yang diberitakan media-media Barat terus berlangsung. Isu separatisme terus diangkat oleh kelompok aktivis Papua dalam berbagai forum.
Pada saat yang sama, Pemerintah Republik Indonesia habis-habisan membangun Papua dan memberi kesempatan kepada putra-putra terbaik Papua untuk tampil memimpin, seperti pengangkatan Mayjen TNI Onesimus Wayangkau sebagai Pangdam Cenderawasih, Mayjen TNI Herman Asaribab menjadi Pangdam Tanjungpura di Kalimantan, Brigjen TNI Ali Hamdan Bogra menjadi Wakil Komandan Sesko TNI, dan beberapa lainnya.
Di saat sama, konsesi ekonomi seperti pertambangan di Pulau Papua semakin dinamis dan terkadang tidak menguntungkan pemodal Barat. Pada saat sama, muncul wacana pembukaan pangkalan militer Amerika Serikat dan Australia di Pulau Manus wilayah Papua Niugini yang berada di timur Kota Jayapura dalam rentang jarak sekitar 686,43 kilometer. Belum lagi penguatan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin Northern Territory bersama Australia Defense Forces.
Selain itu, muncul kekuatan baru, yakni China, terutama dalam bidang ekonomi dan pengembangan bisnis. China menjalin kerja sama yang bagus dengan Kementerian Pertahanan Timor Leste dalam berbagai forum di kawasan Pasifik.
Sepekan terakhir ketika kantor berita BBC mengangkat laporan dugaan kekerasan di Nduga, pada saat yang sama Angkatan Bersenjata Australia menggelar latihan bersama dengan Angkatan Bersenjata Papua Niugini (PNG DF) di kawasan Sungai Fly.
Wilayah hulu Sungai Fly adalah daerah perbatasan di utara Merauke, Indonesia. Kawasan tersebut merupakan salah satu kantong pelarian para separatis dari Provinsi Papua ke wilayah Papua Niugini yang kemudian mewartakan aktivitas mereka melalui sosial media.
Sejarah adalah guru terbaik dalam menyikapi zaman. Kesetaraan dan pembangunan menjadi kunci dalam menjaga Papua sebagai saudara sebangsa yang sederajat di tengah dinamika geopolitik dunia yang meruncing antara Blok Barat dan pihak yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan mereka.