Ironi Industri Baja, Utilitas Rendah di Tengah Lonjakan Konsumsi
Industri besi dan baja Tanah Air dilingkupi ironi. Sepuluh tahun terakhir, separuh lebih kebutuhan dipenuhi besi/baja impo, tetapi pada saat yang sama utilitas industri dalam negeri jauh di bawah kapasitasnya.
Oleh
Mukhamad Kurniawan / C Anto Saptowalyono
·4 menit baca
Industri besi dan baja Tanah Air masih dilingkupi ironi. Data sepuluh tahun terakhir menunjukkan, separuh lebih kebutuhan nasional dipenuhi oleh besi dan baja impor. Pada saat yang sama, utilitas industri di dalam negeri masih jauh di bawah kapasitasnya.
Data Institut Besi dan Baja Asia Tenggara (SEAISI), konsumsi baja Indonesia sepanjang tahun 2018 mencapai 15,082 juta ton, naik 11 persen dibandingkan tahun 2017 yang 13,5 persen. Peningkatan konsumsi baja di Indonesia tertinggi dibandingkan negara-negara lain di kawasan, seperti Malaysia (3,5 persen), Singapura (3,7), Vietnam (3,1), Thailand (1), dan Filipina (9,2 persen).
Peningkatan konsumsi baja nasional dinilai turut ditopang oleh banyaknya proyek infrastruktur—peluang yang semestinya menjadi ”lapak” industri baja di dalam negeri. Namun, sekitar 55 persen dari 14,2 juta ton proyeksi kebutuhan tahun lalu dipenuhi oleh baja impor. Sembilan tahun sebelumnya, baja impor mengambil porsi 52-65 persen kebutuhan nasional.
Kenyataan itu ironis jika menilik utilitas pabrik yang masih relatif rendah. Data Kamar Dadang dan Industri (Kadin) Indonesia, utilisasi pabrik baja lapis seng dalam negeri baru 35 persen, sedangkan baja lapis alumunium seng 38 persen dan baja lapis seng warna dan lapis alumunium seng warna hanya 8,98 persen.
Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Silmy Karim berpendapat, ada level ”permainan” yang tidak imbang yang membuat baja impor leluasa masuk ke Indonesia. Pertama, sebagian baja impor diduga masuk dengan kode sistem terharmonisasi (HS code) yang telah dialihkan untuk menghindari bea masuk 15 persen. Dengan sedikit campuran alloy, misalnya, baja impor bebas bea masuk. Sementara carbon steel murni dikenai tarif 15 persen.
Selain terhindar dari bea masuk, Pemerintah China juga memberikan insentif berupa potongan pajak (tax rebate) 10-13 persen bagi pengusahanya yang ekspor. Dengan demikian, kata Silmy, baja impor dari China bisa 25 persen lebih murah.
Dampak terbitnya regulasi itu, besi dan baja dari luar mudah masuk ke dalam negeri.
Kedua, regulasi yang berlaku di Indonesia dinilai turut mendorong makin derasnya baja impor, terutama tahun 2018 hingga awal 2019. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja, misalnya, menghilangkan syarat rekomendasi impor dari Kementerian Perindustrian serta memindahkan pengawasan besi/baja keluar kepabeanan. Selain itu, importir juga cukup membuat pernyataan secara mandiri (self declaration) yang menyatakan telah memenuhi persyaratan impor besi dan baja.
Revisi aturan
Dampak dari terbitnya regulasi itu, besi dan baja dari luar mudah masuk ke dalam negeri. Ketentuan itu menuai protes dari pelaku industri di dalam negeri hingga akhirnya direvisi melalui Permendag Nomor 110 Tahun 2018 yang berlaku mulai 20 Januari 2019.
Ketentuan revisi itu semestinya mampu menekan kecurangan proses impor baja. Sebab, pemeriksaan yang awalnya dilakukan di luar kepabeanan dikembalikan lagi ke Bea dan Cukai di bawah Kementerian Keuangan. Namun, dibutuhkan peraturan tambahan, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan, agar fungsi tersebut berjalan secara efektif di lapangan.
Pada awal Agustus 2019, pemerintah mengeluarkan regulasi baru terkait baja impor, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.010/2019 yang berlaku mulai 14 Agustus 2019. Regulasi itu mengatur pengenaan bea masuk anti-dumping produk hot rolled plate atau pelat baja dari China, Ukraina, dan Singapura. Komite Anti Dumping Indonesia dalam penyelidikannya menyimpulkan ada marjin dumping untuk perusahaan eksportir/eksportir produsen dari China, Ukraina, dan Singapura jika bea masuk anti-dumping dihentikan.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan menyatakan, utilisasi pabrik besi/baja yang rendah berpotensi menambah pemutusan hubungan kerja. ”Jadi, persoalan baja adalah masalah yang harus diatasi supaya semua perusahaan baja nasional dapat hidup, menghidupi karyawan, dan memberikan pendapatan kepada pemerintah,” kata Johnny.
Persoalan baja nasional harus diatasi supaya semua perusahaan bisa hidup, menghidupi karyawan, dan memberikan pendapatan ke pemerintah.
Menurut Silmy, yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, mustahil berhadapan dengan importir yang mengalihkan kode HS sehingga mereka bisa berhemat 15 persen, plus tax rebate yang mencapai 10-13 persen. ”Kami bukan mencari proteksi yang berlebihan. Kami hanya ingin level playing field yang sama,” kata Silmy.
Ketua Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo) Achmad Safiun berpendapat, teknologi yang digunakan sebagian pabrik baja nasional tertinggal. Energi yang dibutuhkan lebih tinggi. Dampaknya, ongkos produknya lebih tinggi.