JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada September 2019 sebelum mengakhiri masa jabatannya. Namun, wacana pengesahan itu dinilai terlalu terburu-buru. Masih banyak persoalan terkait dengan substansi RKUHP yang menuai pro dan kontra yang sebaiknya dievaluasi ulang.
Anggota Panitia Kerja Rancangan KUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil mengatakan, secara teknis, dorongan dari pemerintah agar RKUHP segera disahkan September ini sebenarnya dapat direalisasikan. Seperti diketahui, pembahasan RKUHP sudah memakan lebih dari empat tahun sejak dibahas pada 24 Juni 2015. Pembahasannya sudah diperpanjang hingga 16 kali masa persidangan.
Namun, berhubung substansi RKUHP memuat sejumlah pasal yang mengundang pro dan kontra serta berkaitan dengan kehidupan privasi warga, pembahasannya terus berjalan di tempat. “Sebenarnya sangat mungkin untuk diselesaikan di periode ini. Memang masih ada beberapa substansi yang perlu kita rundingkan lagi, mungkin perlu fokus ke situ,” katanya di Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Beberapa poin yang masih menggantung itu antara lain pasal-pasal tindak pidana khusus yang dimasukkan ke dalam RKUHP yang baru. Rencana dimasukkannya pasal-pasal terkait tindak pidana korupsi, khususnya, dikhawatirkan bisa tumpang tindih dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Hal itu dikhwatirkan berpotensi meniadakan sejumlah wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur di Undang-Undang KPK dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sejauh ini, masih tersisa tujuh isu krusial yang perlu dibahas dan disepakati lebih lanjut di tingkat panitia kerja DPR dan pemerintah. Selain pasal tindak pidana khusus, ada pasal-pasal tindak pidana kesusilaan (perzinaan, kumpul kebo, pencabulan, perkosaan), penghinaan terhadap Presiden, pidana mati, hukum yang hidup di masyarakat atau hukum adat, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Menurut Direktur eksekutif Indonesian Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, sejumlah pasal problematik itu menunjukkan RKUHP masih mengandung nilai-nilai kolonial. Itu bertentangan dengan tujuan awal penyusunan RKUHP yang ingin mengubah karakter kolonial hukum pidana Indonesia.
Karakter kolonial itu, menurut Anggara, antara lain terlihat dengan hidupnya kembali pasal penghinaan presiden. "RKUHP menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang sebelumnya telah dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai pasal yang inkonstitusional. Pasal itu bersifat kolonial, karena turunan dari kebijakan aturan penjajahan zaman Hindia Belanda," katanya.
Di dalam RKUHP juga dinilai masih banyak ditemukan pasal-pasal yang menyasar kelompok rentan, seperti anak-anak dan perempuan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, pada saat ia menjadi hakim konstitusi, pasal penghinaan terhadap presiden ditiadakan karena pasal itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
"Presiden itu institusi, bukan semata-mata pribadi. Institusi tidak bisa merasa terhina atau tersinggung, sedangkan yang bisa merasa tersinggung adalah pribadi. Oleh karena itu, bila pribadi yang menjabat presiden itu merasa tersinggung, ia baru bisa melapor kepada polisi, sehingga sifatnya aduan," katanya
Selain penghinaan presiden, ada pula pasal-pasal lain yang merupakan warisan penjajahan. Misalnya, pasal mengenai larangan promosi alat kontrasepsi, yang kembali muncul, karena sudah dimatikan secara de facto melalui Surat Jaksa Agung tanggal 19 Mei 1978.
Di dalam RKUHP juga dinilai masih banyak ditemukan pasal-pasal yang menyasar kelompok rentan, seperti anak-anak dan perempuan. "Sebagai contoh, RKUHP dapat mengancam perempuan korban perkosaan yang ingin menggugurkan kandungannya," kata Anggara.
Kendati masih banyak pasal-pasal yang problematik, menurut Nasir, pengesahan RKUHP sebaiknya tidak ditunda lagi karena RUU tersebut tidak bisa dilanjutkan lagi di periode berikutnya. Pembahasan RKUHP oleh DPR dan pemerintah periode 2019-2024 berpotensi dimulai lagi dari nol, sehingga proses pembahasan selama empat tahun terakhir ini mubazir.
Carry over
Nasir mengusulkan, perlu ada kesepakatan di antara partai-partai pemilik kursi di DPR dengan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan RKUHP di periode mendatang tanpa mengulangnya dari awal lagi. “Kalau memang RUU ini tidak jadi kita sahkan di periode ini, harus ada jalan keluar atau kesepahaman bahwa RKUHP akan dibahas pada periode mendatang, tetapi jangan diulang lagi,” katanya.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR sempat berencana merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Salah satu poin utama yang direvisi adalah memberlakukan mekanisme luncuran atau carry over agar pembahasan RUU yang mangkrak tidak berhenti, tetapi bisa dilanjutkan oleh pemerintah dan DPR periode berikutnya.
Sistem luncuran belum pernah berlaku dalam proses pembuatan undang-undang sehingga RUU yang tidak selesai dibahas tidak bisa dilanjutkan pada periode berikutnya.
Sistem luncuran belum pernah berlaku dalam proses pembuatan undang-undang sehingga RUU yang tidak selesai dibahas tidak bisa dilanjutkan pada periode berikutnya. Naskah akademik dan draf RUU harus dirancang kembali dari nol jika RUU bersangkutan kembali diusulkan untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode berikutnya.
Namun, pembahasan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga saat ini berjalan di tempat. Ketua Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, proses pembahasan RUU tersebut sedikit terkendala karena DPR memasuki masa reses dari 27 Juli lalu sampai 15 Agustus 2019.
“Setelah kembali bersidang, baru akan kami kumpulkan semua pimpinan komisi dan panitia khusus dan kami sisir lagi RUU mana yang bisa segera diprioritaskan untuk diselesaikan di satu bulan terakhir ini,” katanya.