Laurens Patah (68), pedagang kaki lima di dalam kompleks Pos Perbatasan Motaain, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, sibuk melayani pelintas batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia-Timor Leste. Mata uang rupiah milik NKRI dan dollar Amerika Serikat menjadi alat pembayaran sah negara demokratik Timor Leste, juga berlaku sebagai alat tukar sah di perbatasan. Namun, Patah memilih menggunakan rupiah sebagai alat tukar. Rupiah adalah simbol kedaulatan negara.
”Warga Timor Leste cenderung menggunakan dollar AS untuk belanja di sini. Mereka misalnya menawarkan satu bungkus rokok dengan satu dollar AS. Saya bertahan memakai rupiah, yakni Rp 20.000 per bungkus. Kalau mereka tetap memaksa dengan dollar, saya minta dua dollar AS untuk satu bungkus,” ujar Patah di Motaain, 45 kilometer arah timur Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, Selasa (6/8/2019).
Patah mengaku, tahun 2007 dirinya berjualan di perbatasan RI-Timor Leste. Saat itu warga Timor Leste membeli barang dagangannya dengan dollar. Awalnya ia menerima mata uang asing, tetapi kesulitan saat hendak berbelanja barang dagangan lagi di toko di Atambua. Pemilik toko menolak mata uang asing sebagai alat pembayaran. Ia harus pergi ke tempat penukaran mata uang di Atambua. Hal itu merepotkan. Nilai rupiah terhadap dollar AS pun tidak stabil.
Oleh sebab itu, ia memastikan cuma menerima rupiah sebagai alat tukar, yang berlaku di seluruh Nusantara. Ia tetap mempertahankan rupiah saat berjualan di perbatasan. Sikapnya itu bagian dari kebanggaan sebagai warga negara Indonesia.
Kepala Dusun Motaain, Desa Silawan, Belu, Yasintus Hali Dacrus mengatakan, penggunaan dollar AS di daerahnya berlangsung sejak tahun 2000. Saat itu warga perbatasan RI-Timor Leste tergila-gila ingin memiliki mata uang asing. Hampir setiap rumah di perbatasan menyimpan dollar AS.
”Biasa, jika ada sesuatu yang baru dari mancanegara, orang pasti ingin memiliki. Kini warga di sini tak lagi menyimpan uang dollar AS. Bagi orang kecil seperti kami, untuk apa menyimpan dollar,” kata Yasintus. Baginya, menggunakan rupiah bisa menjadi bukti menjaga kedaulatan NKRI di perbatasan. Oleh sebab itu, di setiap kesempatan, ia selalu mengajak sekitar 2.000 warga di dusun tersebut untuk menggunakan rupiah.
Penduduk di Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang berbatasan langsung dengan Malaysia, menggunakan rupiah dan ringgit dalam transaksi sehari-hari. Hal itu berlangsung sejak lama. ”Di sini kami menerima keduanya (rupiah dan ringgit). Namun, alat pembayaran yang utama tetap rupiah karena ini wilayah Indonesia,” kata Edi Putra (38), penduduk Badau, yang membuka usaha warung minuman di Terminal Bus Badau, Senin (12/8).
Menurut Edi, barang-barang yang dijual di daerah itu tetap bernilai rupiah meskipun sebagian dipasok dari Malaysia. Jika ada yang membayar memakai ringgit, akan dikonversi nilainya ke rupiah. ”Mereka yang datang dari Malaysia biasanya hanya memegang ringgit,” kata Edi. Selama hampir dua jam duduk dan minum kopi di warung Edi, Kompas memperhatikan tak satu orang pun yang berbelanja di situ menggunakan uang asing. Semua menggunakan rupiah. Rupiah tetap perkasa di Badau.
Di warung makan milik pasangan Mahyudin (55) dan Hadijah (53) di Jalan Pos Lintas Batas Negara Badau juga menerima rupiah dan ringgit. ”Kami menjual makanan dan minuman dalam satuan rupiah. Jadi, alat pembayaran yang utama adalah rupiah, bukan ringgit. Nilai tukar ringgit di sini lebih rendah,” kata Mahyudin. Di warung makan itu juga tak dijumpai satu orang pun yang membayar memakai uang asing.
Warga di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, juga tetap mengutamakan rupiah sebagai alat tukar yang sah. Sebatik adalah pulau terluar dan terdepan yang wilayah daratannya terbagi dua, bagian NKRI dan Negara Bagian Sabah, Malaysia. Sebatik juga berbatasan laut dengan Tawau, Malaysia.
Di Pelabuhan Sungai Nyamuk, Sebatik, misalnya, rupiah menjadi alat tukar utama. Jamal Kodeng (60), pengemudi ojek, mengatakan, di pelabuhan itu mayoritas orang datang dari Tarakan dan sebagian lainnya dari Malaysia. Transaksi dominan menggunakan rupiah. ”Isi dompet saya rupiah semua,” katanya, Sabtu (10/8).
Sosialisasi
Konsideran menimbang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, menegaskan, NKRI sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki mata uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara Indonesia. Kesadaran dan kebanggaan itu memang belum sepenuhnya dimiliki oleh warga negara di perbatasan. Apalagi, nilai tukar rupiah sering kali tertekan.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia NTT Eddy Junaedy mengatakan, BI terus menyosialisasikan penggunaan rupiah sebagai alat tukar yang sah di wilayah Indonesia. ”Di perbatasan RI-Timor Leste hadir 3-4 kantor valuta asing. Tak boleh ada warga, termasuk turis asing, menggunakan mata uang asing bertransaksi di wilayah NKRI,” katanya.
BI melakukan sosialisasi keaslian rupiah, penukaran uang yang lusuh atau sobek, dan pemanfaatan uang rupiah dalam satuan terkecil. Sebagian pedagang di wilayah NTT, termasuk di perbatasan, tak mau menerima uang rupiah dalam satuan terkecil, seperti Rp 50, Rp 100, Rp 200, dan Rp 500. Kesadaran memakai uang kecil juga dimaksudkan untuk menghargai uang sebagai lambang kedaulatan negara. Uang kecil janganlah dibuang. Peredaran rupiah di perbatasan RI-Timor Leste sekitar Rp 3 miliar per bulan.
Untuk mendorong pemakaian rupiah dalam setiap transaksi di wilayah NKRI, BRI Unit Badau pun membuka loket penukaran uang. Menurut Kepala Bank BRI Unit Badau Raji’i, ”Kami mendorong orang yang datang dari Malaysia untuk menukar ringgit dengan rupiah. Di Badau, semua transaksi dinilai dengan rupiah.”
Kantor BI Kaltara mencatat, pemakaian rupiah menguat sejak 2008 di Sebatik. Ringgit sebelumnya sempat dominan, yaitu mencapai 60 persen dari transaksi. Tahun 2018, penggunaan rupiah di Badau kian membaik, mencapai 78 persen.