Menuju Indonesia Emas 2045
Ancaman perpecahan dan maraknya korupsi masih menjadi tantangan yang harus dihadapi bangsa ini untuk menuju Indonesia Emas 2045. Persoalan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak.
"Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanya sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. -Mohammad Hatta-
Sehari lagi, negara Indonesia berusia 74 tahun. Perjalanan lebih dari setengah abad ini diwarnai pasang surut yang menguji persatuan kesatuan dan ketahanan sebagai bangsa. Kendati demikian, bangsa ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk terus bertahan dalam persatuan hingga mencapai Indonesia emas pada 2045.
Kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa sempat mengemuka. Yang terakhir, saat perhelatan lima tahunan untuk memilih pemimpin negara melalui pemilu presiden 2019 digelar. Ketika itu, masyarakat terbelah baik di dunia nyata maupun di dunia maya yang ditandai dengan populernya istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ yang mengidentifikasikan pilihan politik dan golongan.
Namun belakangan, kondisi tersebut mulai mereda terutama pascarekonsiliasi dua tokoh utama dalam kontestasi politik 2019, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Sayangnya, ademnya situasi politik di tingkat elit belum menyentuh level masyarakat di bawah. Perdebatan berbasis isu agama, ras, dan golongan masih bermunculan di dunia maya.
Gonjang-ganjing di dunia politik tersebut, di sisi lain, seolah tidak menyentuh sebagian generasi muda yang akrab disebut kaum milenial. Geliat bisnis perusahaan rintisan yang digawangi anak-anak muda bak oase dan memberi harapan bagi negeri ini untuk berdikari secara ekonomi. Di sejumlah bidang, kalangan muda juga mulai menunjukkan perannya.
Tantangan
Hanya saja, dunia politik terlihat kian tua. Kiprah anak-anak muda di bidang ini tak terlihat. Berdasarkan kajian Litbang Kompas, jumlah calon anggota legislatif muda berusia kurang dari 40 tahun yang lolos ke DPR periode 2019-2024 turun dibandingkan pada periode 2014-2019. Dari kajian itu, hanya 72 orang dari 575 anggota DPR atau 12,5 persen tergolong muda. (Kompas, 12 Agustus 2019)
Tindakan afirmatif dibutuhkan untuk mendorong lebih banyak orang muda terjun ke politik. Kaderisasi politik mesti berjalan. Ini penting untuk menjamin mulusnya perpindahan tongkat estafet kepemimpinan nasional, juga tranfer nilai-nilai dan ideologi negara.
Lalu, formula apa yang perlu dilakukan untuk Indonesia terus bertahan dan bisa menjadi rumah bagi masyarakat yang beragam?
Dalam acara bincang Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (14/8/2019), yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Wali Kota Bogor Bima Arya menyampaikan tantangan terbesar adalah menjaga kebersamaan dan menguatkan unsur-unsur perekat yang harus diperkuat.
“Bukan lagi berkutat pada perbedaan yang membuat kita tidak kemana-mana. Padahal banyak urusan belum selesai yang harus dibereskan, seperti kemiskinan, kebodohan, kemacetan, hingga korupsi. Sedangkan yang sudah selesai seperti Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 45 jangan dibongkar lagi,” ujar Bima.
Namun, menurut Bima, mengemukanya ancaman perpecahan di tengah masyarakat juga dipicu dari para politisi. “Ini ada kaitan dengan sistem politik kita. Kontestasi yang banal dan liar, serta liberal menimbulkan banyak isu yang menurunkan konteks demokrasi. Isu sektarian masuk ke politik, isu agama masuk ke politik. Sialnya, banyak politisi menggunakan ini saat tidak mampu bertarung secara konsep dan gagasan,"ujarnya.
Selain Bima Arya, hadir sebagai pembicara dalam acara ini, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, ekonom Universitas Indonesia Rhenald Khasali, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, dan budayawan Prie GS.
Alissa menambahkan, munculnya sikap eksklusivisme tiap kelompok ini berdampak pada masuknya isu-isu fundamental ke dalam ranah politik. Ada pekerjaan rumah yang sangat serius untuk menerapkan pengamalan ideologi negara, hingga menegaskan identitas bangsa yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat secara bersama.
“Pancasila dan identitas sebagai bangsa ini harus terus hidup. Sebab, kalau isu-isu mendasar dijadikan plintiran politik akan menjadi parah sekali. Di elit sudah tidak ada masalah karena kepentingannya hanya melanggengkan kekuasaan. Sedangkan, sampah-sampah kebenciannya kadung melukai masyarakat,” tutur Alissa.
Korupsi
Selain ancaman persatuan, persoalan korupsi juga masih membelit bangsa ini. Korupsi yang tetap maraknya meski rezim telah berganti dinilai juga menjadi ancaman terbesar bangsa.
“Saya bertanya-tanya itu kelakuan apa kebudayaan. Rasanya ada faktor kebudayaan, untuk melakukan filantropi, seperti menyumbang jalan, menyumbang tempat ibadah ini seolah perlu dilakukan para pejabat. Datang diundang harus memberikan sesuatu, cost-nya tinggi sekali,” kata Prie.
Abdullah, Airin, dan Emil pun berupaya menjawab persoalan korupsi tersebut dengan peningkatan teknologi untuk membenahi transparansi dan akuntabilitas sejumlah kegiatan pemerintahan di daerahnya masing-masing. Hadirnya teknologi juga dilakukan untuk menjaga kebudayaan agar krisis identitas yang dianggap mengancam dapat diatasi, terlebih lagi untuk generasi muda supaya menjaga jati diri bangsa.
Sedangkan, Rhenald menambahkan perlu solusi komprehensi dan tidak cukup hanya mengandalkan teknologi. “Harus dibangun secara tuntas. Jadi, kata-kata ketika diucapkan itu ada maknanya. Tidak hanya sekadar kata-kata. Salah satunya bisa melalui Pendidikan Anak Usia Dini. Bukan hanya untuk anaknya tapi menjadi jembatan kepada orang tuanya,” kata Rhenald.
Pada akhirnya, nasib bangsa ini ke depan bertumpu pada regenerasi dan semangat muda yang harus dipupuk dengan pendidikan yang memadai dan mengedepankan integritas. Demi Indonesia emas pada 2045...